Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Penjarahan atas Nama Keadilan: Menyingkap Dalih Penjarahan


Keadilan adalah kata yang begitu luhur, penuh makna, dan selalu dirindukan oleh setiap insan. Ia menjadi cahaya yang dituju dalam setiap perjuangan, sekaligus janji yang kerap diingkari oleh mereka yang memegang kuasa. Keadilan adalah sesuatu yang suci, namun sering kali justru dikotori oleh tangan manusia yang hendak menafsirkannya sesuai kepentingan.

Dalam sejarah peradaban, kita mendapati bahwa “keadilan” kerap dijadikan dalih, termasuk dalam aksi yang sejatinya jauh dari nilai luhur itu. Salah satunya adalah penjarahan. Tidak jarang, aksi penjarahan diselimuti oleh retorika manis: “Ini demi keadilan rakyat!” atau “Kami hanya mengambil apa yang memang hak kami!” Namun, benarkah demikian? Atau justru di balik dalih itu tersembunyi kerakusan, penyimpangan, bahkan pengkhianatan terhadap rakyat itu sendiri?

 

Rakyat, Keadilan, dan Luka Kolektif

Rakyat sering kali menjadi kata sakti. Politisi menggunakannya untuk meraih simpati. Aktivis meneriakkannya untuk menuntut perubahan. Bahkan para penjarah pun tak segan mengusungnya sebagai pembenaran. “Kami merampas karena pemerintah tidak adil.” “Kami menjarah karena sistem sudah menindas.”

Namun, rakyat yang sejati wajah-wajah letih di jalanan, para petani yang peluhnya menetes di sawah, buruh yang suaranya kerap tenggelam di pabrik justru sering menjadi korban berlapis. Mereka menjadi korban dari sistem yang timpang, sekaligus korban dari penjarahan yang mengatasnamakan mereka.

Keadilan sejatinya adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya tanpa merampas hak orang lain. Maka, ketika ada yang merampas dengan alasan “keadilan”, di sanalah terjadi kontradiksi yang menyayat hati.

 

Penjarahan Sebagai Jeritan Keadilan

Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam sejarah, penjarahan pernah dimaknai sebagai simbol perlawanan. Ketika rakyat lapar, ketika jurang antara kaya dan miskin terlalu lebar, ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka aksi massa sering kali muncul dalam bentuk penjarahan.

Lihatlah sejarah Revolusi Prancis. Sebelum rakyat menjatuhkan Bastille, mereka menyerbu gudang-gudang gandum. Itu adalah jeritan perut yang kosong. Di Amerika Latin, ketika rezim otoriter menindas, rakyat miskin merampas pangan dari gudang negara. Begitu pula di Indonesia pada tahun 1998, ketika krisis moneter melumpuhkan daya beli, rakyat menyerbu toko-toko dan pusat perbelanjaan.

Dalam kerangka sosiologi, hal ini dapat dipahami sebagai collective behavior perilaku spontan kolektif yang muncul ketika norma sosial runtuh. Dalam situasi itu, penjarahan tampak sebagai “keadilan instan” yang dipetik dengan tangan sendiri, karena negara gagal menegakkannya.

Namun, di titik inilah kita harus bertanya: benarkah penjarahan menghadirkan keadilan? Ataukah ia hanya menghadirkan kelegaan sesaat, lalu meninggalkan luka sosial yang lebih dalam?

 

Penjarahan Sebagai Dalih

Di balik kisah tentang jeritan perut, ada wajah lain dari penjarahan: wajah keserakahan. Di sinilah dalih keadilan digunakan sebagai tameng, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah kerakusan.

Ketika kerusuhan melanda, kita sering melihat toko-toko dirampas bukan hanya bahan pokok, melainkan televisi, perhiasan, hingga barang-barang mewah. Apakah semua itu benar-benar untuk memenuhi kebutuhan pokok? Atau hanya untuk memuaskan hasrat sesaat yang dibungkus dengan kata “keadilan”?

Dalih keadilan menjadi kabur, bahkan berbahaya, ketika digunakan untuk membenarkan kejahatan. Karena pada akhirnya, keadilan sejati bukanlah merampas milik orang lain, melainkan menegakkan hak tanpa merusak tatanan.

 

Luka Sosial yang Tersisa

Setiap kali penjarahan terjadi, luka yang ditinggalkan tidak hanya berupa etalase pecah dan barang-barang hilang. Luka itu jauh lebih dalam: ia mengoyak kepercayaan sosial.

Bagi pedagang kecil yang tokonya dijarah, luka itu berarti kehilangan penghidupan yang telah dirintis dengan keringat bertahun-tahun. Bagi masyarakat, penjarahan menanamkan rasa takut dan saling curiga. Dan bagi bangsa, penjarahan adalah simbol rapuhnya tatanan keadilan.

Luka ini sulit sembuh jika hanya diobati dengan penindakan aparat. Luka ini hanya bisa diatasi bila akar masalahnya disembuhkan: kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Tanpa itu, dalih “keadilan” akan terus digunakan sebagai alasan untuk menjarah.

 

Refleksi Moral: Antara Keadilan dan Keserakahan

Keadilan sejati tidak pernah lahir dari penjarahan. Keadilan sejati lahir dari penghormatan terhadap hak setiap manusia. Penjarahan, betapapun besar jeritan yang melatarbelakanginya, selalu membawa risiko merampas hak orang lain yang sama-sama rakyat kecil.

Di sinilah letak paradoksnya. Di satu sisi, penjarahan adalah tanda bahwa ada keadilan yang absen. Namun, di sisi lain, penjarahan itu sendiri sering kali menjadi ketidakadilan baru.

Maka, kita perlu merenungkan: apakah kita ingin keadilan ditegakkan dengan cara merampas? Ataukah kita ingin membangun keadilan melalui jalan yang lebih luhur jalan solidaritas, perjuangan kolektif, dan keberanian untuk menuntut perubahan tanpa melukai sesama?

 

Belajar dari Sejarah Dunia

Sejarah dunia memberi kita banyak pelajaran pahit. Revolusi yang diawali dengan penjarahan sering kali berakhir dengan pertumpahan darah. Namun, ada pula kisah-kisah di mana rakyat mampu memperjuangkan keadilan tanpa harus menjarah.

Di India, Mahatma Gandhi melawan ketidakadilan kolonial Inggris bukan dengan penjarahan, tetapi dengan gerakan non-kekerasan yang menginspirasi dunia. Di Afrika Selatan, Nelson Mandela memperjuangkan keadilan melawan apartheid dengan kesabaran, pengorbanan, dan perjuangan panjang.

Sejarah membuktikan: keadilan yang lahir dari kesadaran kolektif dan perjuangan damai lebih kokoh daripada keadilan yang lahir dari amarah sesaat.

 

Membangun Keadilan yang Sejati

Penjarahan atas nama keadilan akan terus menghantui bangsa ini bila kita gagal menghadirkan keadilan sejati. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah nyata:

  1. Negara hadir secara adil – bukan hanya melindungi mereka yang kuat, tetapi juga mereka yang lemah. Hukum harus tajam ke atas dan melindungi ke bawah.
  2. Distribusi kesejahteraan – kesenjangan sosial yang lebar adalah bahan bakar penjarahan. Negara harus menjamin distribusi ekonomi yang lebih adil.
  3. Pendidikan moral dan kesadaran sosial – rakyat harus diajak memahami bahwa solidaritas tidak berarti merampas, tetapi saling menopang.
  4. Gerakan kolektif non-kekerasan – perubahan sejati lahir dari kesadaran dan perjuangan bersama, bukan dari amarah yang merusak.

 

Penutup

“Penjarahan atas nama keadilan” adalah sebuah paradoks. Ia memperlihatkan betapa rapuhnya keadilan dalam masyarakat, sekaligus betapa mudahnya kata “keadilan” diselewengkan untuk menutupi keserakahan.

Keadilan sejati bukanlah merampas milik sesama. Keadilan sejati adalah keberanian untuk menuntut hak tanpa merampas hak orang lain. Ia adalah perjuangan panjang yang tidak selalu mudah, tetapi selalu mulia.

Maka, marilah kita berhati-hati. Jangan sampai “keadilan” hanya menjadi dalih kosong, sementara rakyat yang sejati terus menjadi korban. Mari kita kembalikan keadilan pada makna sucinya: sebagai cahaya yang menerangi, bukan api yang membakar.

Dengan begitu, kita tidak lagi harus menyaksikan rakyat menjarah atas nama keadilan, tetapi rakyat yang bersatu membangun keadilan yang sejati.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penjarahan atas Nama Keadilan: Menyingkap Dalih Penjarahan"

Posting Komentar