Penjarahan atas Nama Keadilan: Menyingkap Dalih Penjarahan
Keadilan adalah kata yang begitu luhur, penuh makna, dan selalu dirindukan oleh setiap insan. Ia menjadi cahaya yang dituju dalam setiap perjuangan, sekaligus janji yang kerap diingkari oleh mereka yang memegang kuasa. Keadilan adalah sesuatu yang suci, namun sering kali justru dikotori oleh tangan manusia yang hendak menafsirkannya sesuai kepentingan.
Dalam sejarah peradaban, kita
mendapati bahwa “keadilan” kerap dijadikan dalih, termasuk dalam aksi yang
sejatinya jauh dari nilai luhur itu. Salah satunya adalah penjarahan. Tidak
jarang, aksi penjarahan diselimuti oleh retorika manis: “Ini demi keadilan
rakyat!” atau “Kami hanya mengambil apa yang memang hak kami!”
Namun, benarkah demikian? Atau justru di balik dalih itu tersembunyi kerakusan,
penyimpangan, bahkan pengkhianatan terhadap rakyat itu sendiri?
Rakyat,
Keadilan, dan Luka Kolektif
Rakyat sering kali menjadi kata
sakti. Politisi menggunakannya untuk meraih simpati. Aktivis meneriakkannya
untuk menuntut perubahan. Bahkan para penjarah pun tak segan mengusungnya
sebagai pembenaran. “Kami merampas karena pemerintah tidak adil.” “Kami
menjarah karena sistem sudah menindas.”
Namun, rakyat yang
sejati wajah-wajah letih di jalanan, para petani yang peluhnya menetes di
sawah, buruh yang suaranya kerap tenggelam di pabrik justru sering menjadi
korban berlapis. Mereka menjadi korban dari sistem yang timpang, sekaligus
korban dari penjarahan yang mengatasnamakan mereka.
Keadilan sejatinya adalah memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya tanpa merampas hak orang lain.
Maka, ketika ada yang merampas dengan alasan “keadilan”, di sanalah terjadi
kontradiksi yang menyayat hati.
Penjarahan
Sebagai Jeritan Keadilan
Kita tidak bisa menutup mata bahwa
dalam sejarah, penjarahan pernah dimaknai sebagai simbol perlawanan. Ketika
rakyat lapar, ketika jurang antara kaya dan miskin terlalu lebar, ketika hukum
hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka aksi massa sering kali muncul
dalam bentuk penjarahan.
Lihatlah sejarah Revolusi Prancis.
Sebelum rakyat menjatuhkan Bastille, mereka menyerbu gudang-gudang gandum. Itu
adalah jeritan perut yang kosong. Di Amerika Latin, ketika rezim otoriter
menindas, rakyat miskin merampas pangan dari gudang negara. Begitu pula di
Indonesia pada tahun 1998, ketika krisis moneter melumpuhkan daya beli, rakyat
menyerbu toko-toko dan pusat perbelanjaan.
Dalam kerangka sosiologi, hal ini
dapat dipahami sebagai collective behavior perilaku spontan kolektif
yang muncul ketika norma sosial runtuh. Dalam situasi itu, penjarahan tampak
sebagai “keadilan instan” yang dipetik dengan tangan sendiri, karena negara
gagal menegakkannya.
Namun, di titik inilah kita harus
bertanya: benarkah penjarahan menghadirkan keadilan? Ataukah ia hanya
menghadirkan kelegaan sesaat, lalu meninggalkan luka sosial yang lebih dalam?
Penjarahan
Sebagai Dalih
Di balik kisah tentang jeritan
perut, ada wajah lain dari penjarahan: wajah keserakahan. Di sinilah dalih
keadilan digunakan sebagai tameng, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah
kerakusan.
Ketika kerusuhan melanda, kita
sering melihat toko-toko dirampas bukan hanya bahan pokok, melainkan televisi,
perhiasan, hingga barang-barang mewah. Apakah semua itu benar-benar untuk
memenuhi kebutuhan pokok? Atau hanya untuk memuaskan hasrat sesaat yang dibungkus
dengan kata “keadilan”?
Dalih keadilan menjadi kabur, bahkan
berbahaya, ketika digunakan untuk membenarkan kejahatan. Karena pada akhirnya,
keadilan sejati bukanlah merampas milik orang lain, melainkan menegakkan hak
tanpa merusak tatanan.
Luka
Sosial yang Tersisa
Setiap kali penjarahan terjadi, luka
yang ditinggalkan tidak hanya berupa etalase pecah dan barang-barang hilang.
Luka itu jauh lebih dalam: ia mengoyak kepercayaan sosial.
Bagi pedagang kecil yang tokonya
dijarah, luka itu berarti kehilangan penghidupan yang telah dirintis dengan
keringat bertahun-tahun. Bagi masyarakat, penjarahan menanamkan rasa takut dan
saling curiga. Dan bagi bangsa, penjarahan adalah simbol rapuhnya tatanan
keadilan.
Luka ini sulit sembuh jika hanya
diobati dengan penindakan aparat. Luka ini hanya bisa diatasi bila akar
masalahnya disembuhkan: kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan dalam
distribusi kesejahteraan. Tanpa itu, dalih “keadilan” akan terus digunakan
sebagai alasan untuk menjarah.
Refleksi
Moral: Antara Keadilan dan Keserakahan
Keadilan sejati tidak pernah lahir
dari penjarahan. Keadilan sejati lahir dari penghormatan terhadap hak setiap
manusia. Penjarahan, betapapun besar jeritan yang melatarbelakanginya, selalu
membawa risiko merampas hak orang lain yang sama-sama rakyat kecil.
Di sinilah letak paradoksnya. Di
satu sisi, penjarahan adalah tanda bahwa ada keadilan yang absen. Namun, di
sisi lain, penjarahan itu sendiri sering kali menjadi ketidakadilan baru.
Maka, kita perlu merenungkan: apakah
kita ingin keadilan ditegakkan dengan cara merampas? Ataukah kita ingin
membangun keadilan melalui jalan yang lebih luhur jalan solidaritas, perjuangan
kolektif, dan keberanian untuk menuntut perubahan tanpa melukai sesama?
Belajar
dari Sejarah Dunia
Sejarah dunia memberi kita banyak
pelajaran pahit. Revolusi yang diawali dengan penjarahan sering kali berakhir
dengan pertumpahan darah. Namun, ada pula kisah-kisah di mana rakyat mampu
memperjuangkan keadilan tanpa harus menjarah.
Di India, Mahatma Gandhi melawan
ketidakadilan kolonial Inggris bukan dengan penjarahan, tetapi dengan gerakan
non-kekerasan yang menginspirasi dunia. Di Afrika Selatan, Nelson Mandela
memperjuangkan keadilan melawan apartheid dengan kesabaran, pengorbanan, dan
perjuangan panjang.
Sejarah membuktikan: keadilan yang
lahir dari kesadaran kolektif dan perjuangan damai lebih kokoh daripada
keadilan yang lahir dari amarah sesaat.
Membangun
Keadilan yang Sejati
Penjarahan atas nama keadilan akan
terus menghantui bangsa ini bila kita gagal menghadirkan keadilan sejati. Oleh
karena itu, diperlukan langkah-langkah nyata:
- Negara hadir secara adil – bukan hanya melindungi mereka yang kuat, tetapi juga
mereka yang lemah. Hukum harus tajam ke atas dan melindungi ke bawah.
- Distribusi kesejahteraan – kesenjangan sosial yang lebar adalah bahan bakar
penjarahan. Negara harus menjamin distribusi ekonomi yang lebih adil.
- Pendidikan moral dan kesadaran sosial – rakyat harus diajak memahami bahwa solidaritas tidak
berarti merampas, tetapi saling menopang.
- Gerakan kolektif non-kekerasan – perubahan sejati lahir dari kesadaran dan perjuangan
bersama, bukan dari amarah yang merusak.
Penutup
“Penjarahan atas nama keadilan”
adalah sebuah paradoks. Ia memperlihatkan betapa rapuhnya keadilan dalam
masyarakat, sekaligus betapa mudahnya kata “keadilan” diselewengkan untuk menutupi
keserakahan.
Keadilan sejati bukanlah merampas
milik sesama. Keadilan sejati adalah keberanian untuk menuntut hak tanpa
merampas hak orang lain. Ia adalah perjuangan panjang yang tidak selalu mudah,
tetapi selalu mulia.
Maka, marilah kita berhati-hati.
Jangan sampai “keadilan” hanya menjadi dalih kosong, sementara rakyat yang
sejati terus menjadi korban. Mari kita kembalikan keadilan pada makna sucinya:
sebagai cahaya yang menerangi, bukan api yang membakar.
Dengan begitu, kita tidak lagi harus
menyaksikan rakyat menjarah atas nama keadilan, tetapi rakyat yang bersatu
membangun keadilan yang sejati.
0 Response to "Penjarahan atas Nama Keadilan: Menyingkap Dalih Penjarahan"
Posting Komentar