Rokok Gudang Garam Menuju Kebangkrutan
Di kaki Gunung Wilis, di tanah yang pernah menjadi panggung para leluhur dan tempat napas sejarah berhembus pelan, berdiri sebuah bangunan yang pernah mewakili mimpi besar bangsa: Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam. Dari tangan Tjoa Ing Hwie, yang kemudian dikenal sebagai Surya Wonowidjojo, aroma cengkeh dan tembakau menyatu menjadi kretek, bukan sekadar rokok, melainkan bagian dari budaya. Nama “Gudang Garam” lahir dari kesederhanaan simbolis: gudang tua dengan pintu-pintu yang tidak seluruhnya terbuka, tanda bahwa pencapaian hanyalah persinggahan, dan perjalanan selalu berlanjut.
Bertahun-tahun Gudang Garam menjadi
raksasa industri rokok di tanah air. Ia merajai pangsa pasar, menggenggam
hampir sepertiga peredaran kretek di Indonesia. Setiap kepulan asapnya bukan
hanya menjadi bagian dari keseharian jutaan perokok, tetapi juga menjadi sumber
penghidupan ribuan pekerja. Kediri, kota yang menjadi rumahnya, tumbuh seiring
denyut mesin lintingnya.
Namun, di balik aroma manis itu,
awan kelabu mulai berkumpul. Tahun 2024 mencatat lembaran yang pahit:
keuntungan merosot tajam hingga 82 persen, dari Rp 5,32 triliun menjadi hanya
Rp 980,8 miliar. Pendapatan pun jatuh 17,1 persen, dari Rp 119 triliun menjadi
Rp 98,7 triliun. Aset perusahaan menyusut dari Rp 92,4 triliun menjadi Rp 84,9
triliun, dan harga saham yang pernah berada di atas Rp 90.000 per lembar kini
hanya tinggal sekitar Rp 9.600. Angka-angka itu bukan sekadar statistik; ia
adalah denting yang menandai betapa sebuah raksasa bisa tersandung.
Penyebabnya tidak tunggal. Kenaikan
cukai dan harga jual eceran rokok membuat konsumen beralih, sementara rokok
ilegal membanjiri pasar. Di Jawa Tengah dan DIY saja, Bea Cukai menyita 61 juta
batang rokok ilegal hanya dalam lima bulan pertama 2025. Ekspor pun ikut
melemah, turun 12,1 persen. Tekanan fiskal dari pemerintah demi program
pengendalian konsumsi tembakau menambah beban berat di pundak perusahaan.
Rumor kebangkrutan pun bergema di
media sosial. Video-video viral menarasikan ancaman gulung tikar, memicu
kekhawatiran publik akan gelombang PHK massal. Namun, pihak perusahaan
menegaskan bahwa kebangkrutan masih terlalu dini untuk disebut. Gudang Garam
memang sedang diguncang, tetapi ia belum tumbang. Benteng pertahanannya adalah
diversifikasi bisnis: bandara Dhoho di Kediri, jaringan jalan tol, pabrik
kertas, konstruksi, dan puluhan anak usaha yang menopang neraca keuangannya.
Meski laba merosot tajam, perusahaan
tetap membagikan dividen pada 2024 sebesar Rp 962 miliar atau Rp 500 per saham,
setelah setahun penuh absen. Keputusan itu adalah sinyal kepada pasar bahwa
mereka masih memiliki napas untuk bertahan, meski harus mengorbankan sebagian
besar laba bersih untuk mempertahankan kepercayaan investor.
Namun, fondasi keuangan tidak sekuat
dulu. Margin keuntungan tergerus menjadi hanya sekitar 0,2–0,3 persen. Return
on equity pun merosot ke kisaran 0,3 persen. Kinerja ini membuat ruang
optimisme semakin sempit, walaupun beberapa analis masih memperkirakan adanya
pemulihan dengan proyeksi kenaikan laba 184 persen pada 2025 dan 253 persen
pada 2026, jika strategi adaptasi benar-benar dijalankan.
Di tengah badai ini, Gudang Garam
seperti kapal besar yang kehilangan arah kompas. Ia pernah berlayar dengan
penuh keyakinan di samudera industri rokok, namun kini terombang-ambing di
tengah ombak regulasi, perubahan selera konsumen, dan stigma kesehatan yang
kian menekan. Diversifikasi memang menjadi pelampung, tetapi ia bukan jaminan
keselamatan jika tidak diiringi inovasi. Dunia kini bergerak menuju rokok
elektrik, produk tembakau alternatif, dan pemasaran digital yang
agresif wilayah yang hingga kini belum benar-benar disentuh serius oleh
perusahaan.
Masa depan Gudang Garam berada di
persimpangan. Ia bisa memilih jalan evolusi menggenggam teknologi, merangkul
konsumen muda, dan menghidupkan kembali citra mereknya atau terjebak dalam
kemapanan yang membawanya perlahan menuju jurang. Aset besar dan pengalaman
panjang di industri hanyalah fondasi; tanpa keberanian menyesuaikan diri,
bahkan pondasi terkuat pun bisa retak.
Pertanyaannya kini bukan lagi
sekadar “Apakah Gudang Garam akan bangkrut?” tetapi “Apakah ia mampu bertahan
sebagai legenda?” Karena dalam dunia bisnis, kebangkrutan tidak selalu datang
dari angka merah di laporan keuangan, melainkan dari kegagalan untuk berubah
ketika zaman menuntut.
Asap kretek yang dulu menjadi simbol
kejayaan kini mengabur di antara tekanan zaman. Namun, selama mesin-mesin di
Kediri itu masih berdengung, selama masih ada keberanian untuk melangkah ke
jalur baru, selalu ada kemungkinan bahwa Gudang Garam bukan sedang menuju
akhir, melainkan tengah menulis babak kebangkitan yang tak kalah megah dari
kejayaannya dahulu.
0 Response to "Rokok Gudang Garam Menuju Kebangkrutan"
Posting Komentar