Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Lonjakan Miskin Kota: Tanda Bahaya dari Ketimpangan yang Memburuk


Ketika Kemajuan Tidak Merata

Kota-kota besar sering kali menjadi simbol kemajuan dan modernisasi. Gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan mewah, kafe estetik di setiap sudut, dan akses teknologi yang canggih menjadi wajah dari apa yang disebut “perkotaan maju.” Namun di balik gemerlap lampu kota, ada kenyataan lain yang justru semakin mengkhawatirkan—jumlah penduduk miskin kota yang terus meningkat.

Fenomena lonjakan miskin kota bukan sekadar angka statistik, melainkan tanda bahaya serius yang mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin tajam. Jika dibiarkan, hal ini bisa memicu krisis sosial yang kompleks dan sulit dikendalikan.

 

Potret Kemiskinan di Tengah Kemewahan

Di tengah pusat kota yang terus tumbuh dan berkembang, terdapat kantong-kantong kemiskinan yang tersembunyi namun nyata. Kampung padat penduduk berdiri berdampingan dengan kompleks apartemen mewah. Warung kecil dan kios kaki lima menempel di pagar mal elite. Orang-orang antre air bersih dari sumur pompa umum sementara tak jauh dari situ, kolam renang pribadi memantulkan cahaya lampu gedung.

Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat signifikan, terutama pasca pandemi dan krisis ekonomi global. Bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, tapi juga melonjaknya harga pangan, transportasi, dan tempat tinggal yang tidak lagi terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

 

Siapa Mereka yang Termarginalkan?

Miskin kota bukan berarti pengangguran semata. Banyak dari mereka adalah pekerja sektor informal: pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, pemulung, buruh cuci, pekerja rumah tangga, hingga buruh pabrik. Mereka bekerja setiap hari, namun tetap tidak cukup untuk hidup layak. Tidak ada jaminan sosial, tidak ada keamanan kerja, dan seringkali tidak ada perlindungan hukum.

Ditambah lagi, urbanisasi yang tidak terkendali mendorong lebih banyak orang dari desa ke kota, berharap kehidupan yang lebih baik. Namun sayangnya, yang mereka temui justru persaingan yang ketat, biaya hidup tinggi, dan kemiskinan baru.

 

Akar Masalah yang Terabaikan

Lonjakan jumlah miskin kota bukan hanya soal rendahnya pendapatan. Ini adalah gejala dari ketimpangan struktural yang telah lama mengakar. Ketimpangan dalam akses pendidikan, layanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan bahkan dalam pelayanan publik seperti air bersih dan transportasi.

Sementara kelompok atas menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, kelompok bawah justru semakin tertinggal. Pendidikan bermutu hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Lapangan pekerjaan layak lebih banyak tersedia bagi mereka yang punya koneksi dan pendidikan tinggi. Sementara itu, warga miskin kota harus puas dengan pekerjaan berisiko tinggi dan pendapatan rendah.

 

Krisis Perumahan dan Ruang Kota yang Tidak Inklusif

Salah satu krisis terbesar yang dihadapi masyarakat miskin kota adalah akses terhadap tempat tinggal yang layak. Harga rumah melonjak, sewa kontrakan membengkak, sementara penggusuran terus terjadi atas nama pembangunan. Banyak keluarga akhirnya tinggal di kolong jembatan, bantaran sungai, atau rumah sempit dan kumuh yang rawan banjir, kebakaran, dan penyakit.

Ruang kota pun semakin eksklusif. Taman, trotoar, dan fasilitas umum pelan-pelan tergeser oleh proyek-proyek komersial. Kota bukan lagi milik semua, tapi hanya untuk mereka yang mampu membayar.

 

Bom Waktu yang Mengintai

Lonjakan kemiskinan di perkotaan tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga pada stabilitas sosial. Ketika ketimpangan melebar, rasa ketidakadilan tumbuh. Ini bisa memicu konflik sosial, kriminalitas, kekerasan domestik, dan perpecahan antarkelompok masyarakat.

Anak-anak dari keluarga miskin berisiko tinggi putus sekolah, mengalami kekurangan gizi, bahkan terekspos pada kekerasan atau eksploitasi. Tanpa intervensi serius, generasi ini bisa tumbuh dengan kemarahan sosial dan keterbatasan yang akan terus diwariskan ke generasi berikutnya.

 

Apa yang Bisa Dilakukan?

  1. Pembangunan yang Inklusif
    Pemerintah harus meninjau ulang orientasi pembangunan kota. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur megah, tetapi harus memastikan bahwa pembangunan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama yang termarginalkan.
  2. Perumahan Terjangkau dan Layak
    Program rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), perumahan bersubsidi, dan pengembangan kawasan berbasis komunitas perlu diperkuat. Pendekatannya bukan menggusur, tetapi merelokasi dengan adil dan memberdayakan.
  3. Perlindungan Pekerja Informal
    Legalitas, pelatihan, jaminan sosial, dan akses pada modal harus diberikan kepada sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi perkotaan.
  4. Reformasi Sistem Pendidikan dan Kesehatan
    Sekolah gratis belum cukup tanpa kualitas. Layanan kesehatan belum berarti tanpa akses. Kedua sektor ini harus diperbaiki secara menyeluruh untuk memutus rantai kemiskinan.
  5. Kolaborasi Lintas Sektor
    Dunia usaha, LSM, akademisi, dan media harus terlibat dalam menciptakan ekosistem kota yang adil dan inklusif. CSR perusahaan jangan hanya simbolik, tetapi berdampak langsung pada pengurangan kemiskinan.

 

Kota untuk Siapa?

Pertanyaan mendasarnya adalah: untuk siapa kota ini dibangun? Apakah hanya untuk segelintir orang yang bisa membayar mahal, ataukah untuk semua warga yang hidup, bekerja, dan berkontribusi di dalamnya?

Lonjakan miskin kota bukan hanya sebuah statistik. Ia adalah peringatan. Bahwa sistem kita tidak adil. Bahwa mimpi urbanisasi telah berubah menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar warga. Dan bahwa sudah waktunya kita berhenti menutup mata.

Membangun kota yang manusiawi bukan soal estetika, tetapi soal keadilan. Sebab kota yang sejati adalah kota yang tak meninggalkan siapa pun.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lonjakan Miskin Kota: Tanda Bahaya dari Ketimpangan yang Memburuk"

Posting Komentar