Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Lagu Sendiri Dihindari: Penyanyi Kafe Pilih Lagu Asing karena Royalti


Bayangkan Anda sedang duduk di sebuah kafe pada malam minggu. Lampu remang-remang, kopi hangat di meja, dan suara musik akustik yang menyelimuti suasana. Tapi tunggu mengapa yang terdengar hanyalah lagu-lagu barat? Ke mana perginya lagu-lagu Indonesia yang dulu akrab di telinga dan menyentuh hati?

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Banyak penyanyi kafe dan pelaku musik panggung kecil kini memilih untuk tidak membawakan lagu-lagu Indonesia. Alasannya? Takut terkena kewajiban royalti.

Ketakutan yang Mengakar

Royalti sebenarnya adalah bentuk penghargaan kepada pencipta lagu. Dalam dunia musik profesional, hal ini lumrah dan wajar. Namun, sistem pelaksanaan royalti di Indonesia yang dinilai belum jelas dan merata justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan musisi panggung kecil, termasuk penyanyi kafe.

"Ada rasa waswas. Takut-takut nanti disangka melanggar hak cipta," ungkap salah satu penyanyi kafe di Bandung yang enggan disebut namanya. Ia mengaku lebih memilih menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris karena merasa lebih 'aman'.

Padahal, tujuan dari pungutan royalti adalah untuk melindungi dan mengapresiasi para pencipta lagu lokal. Ironisnya, regulasi dan sosialisasi yang minim membuat niat baik itu justru menjauhkan lagu-lagu Indonesia dari panggung-panggung kecil yang justru menjadi ruang promosi paling langsung bagi karya anak bangsa.

Antara Regulasi dan Realita

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, penggunaan karya musik di ruang publik seperti restoran, hotel, dan kafe memang memerlukan izin dan pembayaran royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun dalam praktiknya, aturan ini masih sering menimbulkan kebingungan.

Banyak pelaku usaha hiburan dan musisi merasa belum mendapat kejelasan tentang bagaimana prosedur pembayaran royalti, siapa yang seharusnya membayar, dan lagu-lagu mana saja yang dilindungi secara aktif. Akibatnya, timbul kekhawatiran akan sanksi hukum yang tidak sepenuhnya mereka pahami.

"Kalau lagu barat, siapa yang akan mengejar saya? Tapi kalau lagu Indonesia, bisa jadi dianggap melanggar, meskipun saya hanya nyanyi di kafe kecil," ujar seorang musisi di Yogyakarta.

Dampak bagi Musik Indonesia

Pilihan untuk menghindari lagu-lagu lokal ini membawa konsekuensi yang tidak kecil. Lagu Indonesia kehilangan panggungnya. Ruang-ruang akustik di kafe, yang dulu menjadi tempat lahir dan tumbuhnya kecintaan pada musik lokal, kini diisi oleh lagu-lagu asing yang terkadang tidak punya kedekatan emosional dengan pendengar.

Lebih jauh lagi, ini juga berdampak pada nasib pencipta lagu itu sendiri. Alih-alih mendapatkan royalti, mereka justru kehilangan pendengar. Karya mereka tidak lagi dibawakan, tidak lagi dikenang, dan perlahan-lahan menghilang dari kesadaran publik.

Perlu Solusi Bersama

Masalah ini tidak bisa diserahkan hanya kepada musisi atau pemilik kafe semata. Pemerintah, melalui LMKN dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, perlu melakukan pendekatan yang lebih inklusif. Sosialisasi yang masif, sistem pelaporan yang sederhana, serta klasifikasi yang jelas atas tempat dan jenis pertunjukan perlu segera dilakukan.

Di sisi lain, para pelaku usaha hiburan dan musisi juga diharapkan dapat ikut serta dalam menciptakan budaya apresiasi terhadap karya cipta. Dengan membayar royalti secara proporsional dan terjangkau, mereka sebenarnya sedang ikut menjaga kelangsungan ekosistem musik nasional.

Mari Kembalikan Lagu Kita ke Panggungnya

Lagu Indonesia lahir dari kisah dan rasa yang tumbuh di negeri ini. Ia pantas untuk dinyanyikan, dibanggakan, dan didengarkan. Jangan biarkan ketakutan terhadap aturan yang tidak dipahami menjadikan kita asing terhadap karya sendiri.

Sudah saatnya semua pihak duduk bersama, membenahi sistem, dan menumbuhkan kembali rasa cinta pada lagu-lagu lokal. Karena sejatinya, musik adalah bahasa jiwa, dan jiwa bangsa ini terlalu indah untuk terus diabaikan di panggung-panggung kecil negeri sendiri.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lagu Sendiri Dihindari: Penyanyi Kafe Pilih Lagu Asing karena Royalti"

Posting Komentar