Tantiem BUMN: Prestasi atau Privilege?
Setiap kali berita tentang komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menerima tantiem atau bonus kinerja mencuat, publik selalu terbelah dalam dua kubu. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa tantiem adalah hak yang wajar karena merupakan bagian dari penghargaan atas capaian kinerja perusahaan. Namun, di sisi lain, banyak pula yang mempertanyakan: apakah bonus itu memang benar-benar pantas, terutama ketika sebagian BUMN masih mencatatkan kinerja pas-pasan, bahkan ada yang masih terus merugi?
Pertanyaan mendasarnya adalah: tantiem itu prestasi, atau sekadar privilege?
Apa
Itu Tantiem?
Secara sederhana, tantiem adalah bonus
yang diberikan kepada direksi maupun komisaris sebagai bentuk apresiasi atas
kinerja perusahaan. Biasanya, jumlahnya dihitung berdasarkan laba yang
diperoleh, dividen yang disetor ke negara, atau indikator lain yang ditetapkan
pemerintah sebagai pemegang saham.
Dalam dunia bisnis, konsep bonus
bukanlah hal baru. Di perusahaan swasta, direksi atau manajemen memang kerap
menerima bonus besar ketika target tercapai. Namun, berbeda dengan BUMN, di
sinilah perdebatan mulai muncul.
Mengapa Jadi Polemik?
BUMN adalah perusahaan milik negara,
artinya modal awal dan sebagian besar kekayaan yang dikelola berasal dari
rakyat. Setiap keuntungan yang diperoleh sejatinya kembali kepada negara dan
masyarakat, baik melalui setoran dividen, penyediaan layanan publik, maupun
pembangunan infrastruktur.
Ketika komisaris atau direksi BUMN
mendapat tantiem miliaran rupiah, muncul pertanyaan kritis:
- Apakah bonus itu sebanding dengan kerja nyata yang
dilakukan?
- Apakah keuntungan yang diperoleh benar-benar hasil
inovasi dan manajemen yang baik, atau sekadar karena posisi
monopolistik BUMN di sektor tertentu?
- Bagaimana dengan BUMN yang masih rugi, apakah komisaris dan direksinya juga ikut menanggung kerugian, atau tetap menerima berbagai fasilitas dan tunjangan besar?
Prestasi:
Jika Memang Berdasarkan Kinerja
Kita tentu tidak bisa menutup mata
bahwa ada BUMN yang berhasil mencatatkan kinerja gemilang. Misalnya, BUMN yang
mampu menambah laba, memperluas pasar internasional, atau memberikan setoran
dividen jumbo ke kas negara. Dalam kasus seperti itu, pemberian tantiem bisa
dilihat sebagai stimulus kinerja agar manajemen terus terdorong
meningkatkan performa.
Di dunia swasta, logika ini lumrah: semakin besar keuntungan perusahaan, semakin besar pula bonus bagi manajemen.
Privilege:
Jika Hanya Karena Jabatan
Namun, masalah muncul ketika tantiem
diberikan bukan karena prestasi, melainkan semata-mata karena jabatan. Banyak
BUMN yang masih merugi atau bergantung pada subsidi negara, tapi komisarisnya
tetap mendapat fasilitas mewah. Ada pula jabatan komisaris yang dianggap
sekadar "kursi politik", tempat menitipkan figur tertentu tanpa latar
belakang profesional yang memadai.
Di sinilah publik geram: ketika perusahaan belum sehat, tapi manajemennya justru hidup nyaman dengan berbagai fasilitas, gaji tinggi, dan bonus yang fantastis. Inilah yang disebut privilege—keuntungan yang tidak didapatkan karena kinerja, melainkan karena posisi dan kedekatan dengan kekuasaan.
Dampak
Terhadap Kepercayaan Publik
Setiap kali isu tantiem BUMN
mencuat, rasa ketidakadilan sosial seringkali mengemuka. Di tengah
kondisi ekonomi yang sulit, dengan harga kebutuhan pokok naik dan daya beli
masyarakat melemah, berita tentang bonus miliaran rupiah terasa menyakitkan.
Rakyat bertanya-tanya:
- Mengapa uang negara yang seharusnya digunakan untuk
pelayanan publik justru sebagian besar mengalir ke kantong segelintir
orang?
- Apakah sistem penghargaan ini benar-benar transparan
dan adil?
Kecurigaan publik terhadap BUMN pun bisa semakin dalam, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pemegang saham utama.
Bagaimana
Seharusnya?
Untuk menjawab apakah tantiem itu
prestasi atau privilege, ada beberapa hal yang penting dilakukan:
- Transparansi Kinerja
Publik berhak tahu dasar perhitungan tantiem: berapa laba bersih, berapa setoran dividen, dan apa saja indikator keberhasilan yang dicapai. - Keterkaitan dengan Layanan Publik
BUMN bukan hanya mencari untung, tetapi juga mengemban misi pelayanan publik. Maka, bonus harus mempertimbangkan juga seberapa besar perusahaan mampu memberikan manfaat nyata bagi rakyat. - Akuntabilitas Jabatan
Penempatan komisaris dan direksi harus berbasis kompetensi, bukan sekadar politik atau balas jasa. Jika jabatan diisi profesional, maka bonus pun lebih bisa dipertanggungjawabkan. - Proporsionalitas
Jumlah tantiem harus proporsional, tidak boleh terlalu timpang dengan kondisi masyarakat umum. Di negara-negara maju, aturan batas bonus bagi pejabat BUMN kerap dikaitkan dengan performa perusahaan serta standar kesejahteraan karyawan.
Penutup
Tantiem di BUMN akan selalu menjadi
perdebatan. Jika diberikan berdasarkan prestasi nyata, transparan, dan
sebanding dengan manfaat yang dirasakan rakyat, bonus itu bisa dianggap wajar.
Namun, jika hanya didasari privilege jabatan tanpa kinerja jelas, maka wajar bila
publik menolak.
Pada akhirnya, persoalan tantiem ini
bukan sekadar soal angka miliaran rupiah, melainkan soal keadilan, etika,
dan rasa percaya rakyat terhadap bagaimana negara mengelola kekayaan yang
sejatinya milik bersama.
Jadi, pertanyaan “Tantiem BUMN:
Prestasi atau Privilege?” sebetulnya adalah cermin yang menyingkap wajah
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan BUMN kita hari ini.
0 Response to "Tantiem BUMN: Prestasi atau Privilege?"
Posting Komentar