Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan
Pendahuluan
Dalam lanskap bisnis global yang dinamis, persaingan tidak lagi hanya ditentukan oleh kualitas produk atau inovasi teknologi semata, melainkan juga oleh kualitas tata kelola perusahaan. Good Corporate Governance (GCG) hadir sebagai kerangka kerja yang memastikan perusahaan beroperasi secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, independen, dan adil. Penerapan GCG bukan hanya sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan juga strategi jangka panjang untuk menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemangku kepentingan.
Di tengah kompleksitas pasar,
ketidakpastian ekonomi, dan percepatan transformasi digital, GCG menjadi
penentu utama dalam membangun reputasi yang kokoh dan meningkatkan kinerja
keuangan. Penelitian-penelitian empiris menunjukkan bahwa perusahaan yang
konsisten menerapkan prinsip GCG mampu meminimalkan risiko, memperkuat
loyalitas pelanggan, menarik investor berkualitas, serta menjaga keberlanjutan
usaha.
Artikel ini membahas secara
komprehensif konsep dan prinsip dasar GCG, pengaruhnya terhadap profitabilitas
dan reputasi perusahaan, bukti empiris dari berbagai studi, serta tantangan
implementasinya di dunia nyata. Dengan pemahaman yang mendalam, diharapkan
pembaca dapat melihat bahwa GCG bukan sekadar tuntutan administratif, tetapi
merupakan fondasi strategis bagi pertumbuhan dan daya saing perusahaan.
Konsep
Good Corporate Governance (GCG)
Good Corporate Governance (GCG) atau
tata kelola perusahaan yang baik adalah seperangkat prinsip, aturan, dan proses
yang digunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuannya bukan
hanya memastikan perusahaan berjalan sesuai ketentuan hukum, tetapi juga
membangun kepercayaan, menjaga keberlanjutan bisnis, dan menciptakan nilai
tambah bagi seluruh pemangku kepentingan — mulai dari pemegang saham, karyawan,
pelanggan, hingga masyarakat luas.
Dalam konteks bisnis modern, GCG
menjadi fondasi penting untuk menghadapi tantangan globalisasi, perubahan
teknologi, dan tuntutan akan praktik bisnis yang etis. Perusahaan yang
menerapkan GCG secara konsisten akan memiliki citra positif, kinerja keuangan
yang lebih stabil, serta daya saing yang kuat di pasar.
1.
Transparansi (Transparency)
Transparansi berarti perusahaan
bersikap terbuka dalam memberikan informasi yang relevan, akurat, dan tepat
waktu kepada seluruh pihak yang membutuhkan, baik internal maupun eksternal.
Informasi yang dimaksud mencakup kinerja keuangan, strategi bisnis, risiko yang
dihadapi, hingga kebijakan operasional.
- Contoh Penerapan:
Perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia wajib merilis laporan keuangan
kuartalan yang diaudit dan dapat diakses publik. Transparansi ini
memungkinkan investor mengambil keputusan berdasarkan data yang dapat
dipercaya.
- Manfaat:
Meningkatkan kepercayaan investor, mengurangi rumor negatif, dan
meminimalkan risiko kesalahpahaman.
2.
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas memastikan setiap
organ perusahaan — seperti dewan komisaris, direksi, dan manajemen — memiliki
peran, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas. Prinsip ini menuntut adanya
mekanisme pengawasan yang efektif sehingga setiap tindakan dapat
dipertanggungjawabkan.
- Contoh Penerapan:
Direksi bertanggung jawab atas pencapaian target perusahaan, sedangkan
dewan komisaris melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan kinerja
direksi.
- Manfaat:
Menghindari tumpang tindih wewenang, mencegah penyalahgunaan kekuasaan,
dan memastikan keputusan diambil demi kepentingan perusahaan secara
keseluruhan.
3.
Responsibilitas (Responsibility)
Responsibilitas berarti perusahaan
menjalankan kegiatan usahanya dengan mematuhi peraturan perundang-undangan dan
prinsip etika bisnis. Ini mencakup tanggung jawab sosial dan lingkungan, yang
semakin menjadi perhatian publik dan investor.
- Contoh Penerapan:
Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berfokus pada
pemberdayaan masyarakat lokal dan pengurangan dampak lingkungan, seperti
yang dilakukan PT Pertamina melalui program konservasi mangrove.
- Manfaat:
Menjaga keberlanjutan bisnis, membangun hubungan positif dengan
masyarakat, dan menghindari sanksi hukum.
4.
Independensi (Independency)
Independensi memastikan perusahaan
bebas dari campur tangan pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu yang
dapat memengaruhi objektivitas pengambilan keputusan.
- Contoh Penerapan:
Penunjukan komisaris independen yang tidak memiliki hubungan kepemilikan
atau bisnis dengan perusahaan, untuk memastikan pengawasan yang objektif.
- Manfaat:
Menghindari konflik kepentingan dan memastikan semua keputusan diambil
untuk kepentingan terbaik perusahaan.
5.
Kewajaran (Fairness)
Kewajaran mengacu pada perlakuan
yang setara kepada semua pemegang saham dan pemangku kepentingan, termasuk
investor minoritas, karyawan, dan mitra bisnis. Tidak boleh ada diskriminasi
atau perlakuan istimewa yang merugikan pihak lain.
- Contoh Penerapan:
Hak suara yang sama dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan kebijakan
rekrutmen yang mengutamakan kompetensi tanpa membedakan latar belakang.
- Manfaat:
Meningkatkan loyalitas karyawan, menjaga hubungan baik dengan mitra
bisnis, dan memperkuat kepercayaan investor.
GCG
sebagai Pengungkit Kinerja dan Reputasi
Kelima prinsip GCG di atas bukan
sekadar formalitas atau pemenuhan regulasi. Dalam praktiknya, penerapan GCG
yang konsisten akan menciptakan ekosistem perusahaan yang sehat, meminimalkan
risiko, dan memperkuat posisi perusahaan di pasar. Perusahaan dengan tata
kelola yang baik cenderung memiliki profitabilitas lebih tinggi karena mampu
mengelola risiko dengan lebih efektif, sekaligus memperoleh reputasi positif
yang menjadi modal sosial berharga di mata publik dan investor.
Pengaruh
GCG terhadap Profitabilitas Perusahaan
1.
Meningkatkan Efisiensi Operasional
Perusahaan yang menerapkan GCG
cenderung memiliki sistem pengawasan internal yang kuat, mengurangi pemborosan
sumber daya, dan meningkatkan efisiensi operasional.
Contoh empiris:
Penelitian di sektor perbankan Indonesia (Siregar & Bachtiar, 2010)
menemukan bahwa bank yang memiliki dewan komisaris independen dengan persentase
lebih tinggi menunjukkan rasio ROA (Return on Assets) yang lebih baik.
2.
Meminimalkan Risiko dan Biaya Modal
GCG yang baik mengurangi risiko
skandal keuangan, kebangkrutan, atau kerugian akibat keputusan yang tidak
hati-hati. Hal ini meningkatkan kepercayaan investor sehingga biaya modal (cost
of capital) menurun.
Contoh empiris:
Studi di Bursa Efek Malaysia menunjukkan bahwa perusahaan dengan skor GCG
tinggi memiliki biaya utang lebih rendah karena kepercayaan kreditur meningkat.
3.
Meningkatkan Akses terhadap Modal
Perusahaan yang reputasinya baik
dalam penerapan GCG lebih mudah mendapatkan pendanaan dari bank maupun pasar
modal. Modal yang cukup memungkinkan ekspansi dan peningkatan profitabilitas.
Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Reputasi Perusahaan
Reputasi perusahaan adalah aset tak berwujud yang nilainya sering kali jauh melampaui
aset fisik. Dalam dunia bisnis yang semakin transparan, reputasi tidak hanya
dibangun melalui produk atau layanan berkualitas, tetapi juga melalui tata
kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).
Penerapan GCG yang konsisten mampu menciptakan citra positif, meningkatkan
kepercayaan publik, memperkuat loyalitas pelanggan, hingga membuka jalan bagi
kemitraan strategis. Tiga aspek berikut menunjukkan bagaimana GCG dapat
memengaruhi reputasi perusahaan secara signifikan.
1. Membangun Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik adalah fondasi dari reputasi yang kokoh. Ketika
perusahaan menerapkan prinsip transparansi dalam pelaporan
keuangan dan komunikasi, publik akan menilai bahwa perusahaan tersebut memiliki
integritas tinggi.
Transparansi tidak hanya berarti menyajikan angka-angka keuangan secara
terbuka, tetapi juga mengungkapkan risiko bisnis, strategi jangka panjang, dan
kebijakan internal. Informasi ini memungkinkan investor, pelanggan, dan mitra
bisnis untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan data yang akurat.
Contoh empiris:
Survei Edelman Trust Barometer 2022 menunjukkan bahwa
perusahaan dengan praktik tata kelola yang transparan memiliki tingkat
kepercayaan publik 30% lebih tinggi dibanding perusahaan yang
tertutup. Hal ini membuktikan bahwa keterbukaan bukan sekadar kewajiban
regulasi, melainkan strategi reputasi yang efektif.
Ilustrasi nyata:
Di sektor perbankan, Bank Mandiri secara rutin mengadakan public expose
yang membahas kinerja keuangan, rencana bisnis, dan inovasi layanan. Kegiatan
ini tidak hanya memenuhi kewajiban kepada Bursa Efek Indonesia, tetapi juga
memperkuat citra bank sebagai institusi yang kredibel dan dapat dipercaya.
2. Meningkatkan Loyalitas Pelanggan
Reputasi yang dibangun dari praktik bisnis yang etis dan bertanggung jawab
akan mendorong pelanggan untuk tetap setia, bahkan di tengah gempuran
persaingan. Pelanggan modern semakin peduli pada nilai-nilai keberlanjutan,
etika rantai pasok, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Ketika pelanggan merasa bahwa mereka membeli produk dari perusahaan yang
memiliki integritas, keputusan mereka menjadi lebih dari sekadar transaksi
ekonomi — itu adalah bentuk dukungan terhadap nilai dan prinsip yang mereka
yakini.
Contoh:
Unilever Indonesia mempertahankan citra positifnya melalui
komitmen pada keberlanjutan (sustainability) dan etika bisnis.
Perusahaan ini memastikan sumber bahan baku berasal dari pemasok yang mematuhi
standar lingkungan dan sosial. Kampanye seperti "Every U Does
Good" mengomunikasikan bahwa setiap produk yang dibeli konsumen turut
berkontribusi pada tujuan sosial atau lingkungan.
Dampak:
Selain meningkatkan loyalitas, citra positif semacam ini membuat konsumen bersedia
membayar harga yang lebih tinggi karena mereka percaya pada nilai yang diusung
merek tersebut.
3. Memperkuat Hubungan dengan Regulator dan Mitra Bisnis
Penerapan GCG tidak hanya berdampak pada hubungan perusahaan dengan
pelanggan, tetapi juga dengan pihak-pihak strategis seperti regulator, lembaga
keuangan, dan mitra bisnis.
Perusahaan yang patuh pada regulasi dan menjalankan operasionalnya secara
etis akan lebih mudah mendapatkan dukungan dari regulator, misalnya dalam
bentuk percepatan perizinan, kemudahan akses proyek pemerintah, atau perlakuan
yang adil dalam penegakan hukum.
Contoh:
Perusahaan teknologi finansial (fintech) yang mengikuti ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) terkait perlindungan data dan keamanan transaksi cenderung
mendapat izin operasional lebih cepat serta memiliki peluang lebih besar untuk
bekerja sama dengan bank atau institusi besar lainnya.
Manfaat jangka panjang:
Hubungan yang baik dengan regulator dan mitra bisnis juga berarti perusahaan
memiliki jejaring kolaborasi yang kuat, membuka peluang untuk ekspansi pasar,
dan meminimalkan potensi konflik hukum.
Dari ketiga aspek tersebut — kepercayaan publik, loyalitas pelanggan, dan
hubungan dengan regulator/mitra — terlihat jelas bahwa reputasi
perusahaan adalah cerminan dari kualitas penerapan GCG. Perusahaan
yang mengabaikan tata kelola berisiko kehilangan kepercayaan publik, merusak
hubungan dengan mitra, dan akhirnya menurunkan kinerja bisnisnya.
Sebaliknya, GCG yang diterapkan dengan sungguh-sungguh menjadi strategi
jangka panjang yang tidak hanya menjaga keberlangsungan usaha, tetapi juga
mengangkat posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar yang dihormati.
Bukti
Empiris dari Berbagai Studi: Mengungkap Dampak Nyata GCG
Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) sering kali dianggap sebagai konsep normatif yang harus
dipenuhi demi kepatuhan regulasi. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa
GCG tidak hanya memberi nilai tambah secara etis, tetapi juga berdampak nyata
pada kinerja keuangan, reputasi, dan valuasi pasar perusahaan. Bukti
empiris berikut memperlihatkan hubungan langsung antara kualitas tata kelola
dan keberhasilan perusahaan di berbagai belahan dunia.
1.
Studi di Bursa Efek Indonesia: Korelasi GCG dan Kinerja Keuangan
Penelitian yang dilakukan pada tahun
2015 terhadap perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) menemukan adanya korelasi positif antara indeks GCG dan
indikator kinerja keuangan seperti Return on Equity (ROE) dan Return
on Assets (ROA).
- ROE
mengukur seberapa besar keuntungan yang dihasilkan perusahaan dari modal
yang ditanamkan pemegang saham.
- ROA
mengukur seberapa efisien perusahaan memanfaatkan asetnya untuk
menghasilkan keuntungan.
Maknanya:
Perusahaan yang memiliki tata kelola yang baik terbukti lebih mampu
mengoptimalkan modal dan aset yang mereka miliki. Hal ini bisa disebabkan oleh
keputusan manajemen yang lebih hati-hati, transparansi dalam aliran keuangan,
dan minimnya pemborosan akibat praktik korupsi atau penyalahgunaan dana.
Contoh:
Beberapa perusahaan perbankan di Indonesia yang meraih skor tinggi dalam
penilaian GCG dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan ROE
yang konsisten di atas rata-rata industri. Kinerja positif ini tidak hanya
meningkatkan keuntungan, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan investor.
2.
Studi di Eropa: Keberagaman Dewan Direksi dan Reputasi Media
Penelitian di sejumlah negara Eropa
menemukan bahwa perusahaan dengan dewan direksi yang beragam — baik dari
sisi gender, latar belakang etnis, maupun pengalaman profesional — memiliki
reputasi yang lebih baik di media.
Mengapa bisa begitu?
Keberagaman dalam kepemimpinan membawa sudut pandang yang lebih luas,
pengambilan keputusan yang lebih inklusif, dan kemampuan adaptasi yang lebih
tinggi terhadap dinamika pasar global. Media dan publik cenderung merespons
positif perusahaan yang mencerminkan nilai keberagaman ini, karena dianggap
lebih modern, progresif, dan peka terhadap isu sosial.
Contoh:
Di Inggris, perusahaan seperti Vodafone dan Diageo dikenal karena
memiliki proporsi perempuan yang signifikan di jajaran direksi. Hal ini tidak
hanya menjadi bahan pemberitaan positif, tetapi juga meningkatkan citra
perusahaan di mata konsumen yang mendukung kesetaraan gender.
3.
Riset McKinsey & Company: GCG dan Valuasi Pasar
Riset yang dilakukan oleh McKinsey
& Company (2019) terhadap ratusan perusahaan global mengungkapkan bahwa
perusahaan dengan tata kelola yang kuat memiliki valuasi pasar rata-rata
20% lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tata kelolanya lemah.
Penjelasan:
Investor cenderung memberikan “harga premium” kepada perusahaan yang dinilai
aman, transparan, dan minim risiko hukum. GCG yang baik mengurangi potensi
skandal, kegagalan manajemen, atau kerugian besar akibat keputusan yang tidak
bertanggung jawab.
Contoh:
Perusahaan teknologi seperti Microsoft dan Adobe dikenal memiliki
tata kelola yang ketat, termasuk transparansi laporan, kode etik yang jelas,
dan komitmen pada keberlanjutan. Hasilnya, valuasi pasar kedua perusahaan ini
cenderung stabil bahkan di tengah gejolak ekonomi global.
Bukti empiris dari berbagai studi
ini memperkuat argumen bahwa GCG bukan hanya “hiasan” dalam laporan tahunan,
tetapi fondasi yang secara langsung memengaruhi kepercayaan investor, citra
publik, dan performa finansial.
- Di Indonesia,
penerapan GCG terbukti berkontribusi pada efisiensi penggunaan modal dan
aset.
- Di Eropa,
keberagaman di level pimpinan meningkatkan reputasi media dan citra
publik.
- Secara global,
perusahaan dengan tata kelola kuat mendapatkan valuasi pasar yang lebih
tinggi.
Dengan kata lain, GCG adalah
investasi strategis yang hasilnya tidak hanya terlihat di neraca keuangan,
tetapi juga dalam persepsi publik dan keberlanjutan bisnis.
Tantangan
dalam Implementasi Good Corporate Governance (GCG)
Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) sering kali dianggap sebagai kunci keberhasilan perusahaan
dalam membangun reputasi, menarik investor, dan menjaga keberlanjutan usaha.
Namun, implementasinya tidak selalu berjalan mulus. Di banyak organisasi,
tantangan muncul dari faktor internal maupun eksternal yang menghambat
efektivitas penerapan prinsip-prinsip GCG.
Berikut adalah tiga tantangan utama
yang kerap dihadapi perusahaan dalam menerapkan GCG beserta penjelasan rinci
dan contoh-contohnya.
1.
Budaya Organisasi yang Kurang Mendukung
Salah satu hambatan terbesar dalam
implementasi GCG adalah budaya organisasi yang belum sepenuhnya
mendukung nilai transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Resistensi sering
muncul dari manajemen atau karyawan yang merasa bahwa keterbukaan informasi
dapat mengurangi kendali mereka atau menimbulkan risiko bagi posisi pribadi.
Mengapa ini terjadi?
- Budaya kerja yang sudah lama terbentuk cenderung sulit
berubah.
- Sebagian manajer enggan berbagi informasi karena
khawatir akan mengundang kritik.
- Adanya persepsi bahwa tata kelola yang ketat akan
memperlambat pengambilan keputusan.
Contoh nyata:
Di beberapa BUMN, upaya meningkatkan transparansi sering menghadapi tantangan
dari pihak internal yang merasa bahwa pembukaan data keuangan atau proyek akan
mengundang audit dan sorotan publik. Akibatnya, penerapan GCG berjalan setengah
hati dan hanya sebatas formalitas.
Solusi potensial:
Perusahaan perlu melakukan change management secara terstruktur,
mengedepankan edukasi dan sosialisasi nilai-nilai GCG sebagai bagian dari
budaya kerja, bukan sekadar aturan administratif.
2.
Biaya Implementasi yang Tinggi
Penerapan GCG membutuhkan investasi
awal yang tidak sedikit, mulai dari pengadaan sistem teknologi informasi,
pelatihan karyawan, hingga pengawasan dan audit berkala. Bagi
perusahaan besar, biaya ini mungkin relatif kecil dibandingkan potensi
manfaatnya. Namun, bagi perusahaan skala menengah dan kecil, pengeluaran ini
sering dianggap beban.
Komponen biaya yang umum muncul:
- Pengembangan sistem ERP untuk integrasi data perusahaan.
- Pelatihan SDM
terkait etika bisnis, kepatuhan hukum, dan pengendalian internal.
- Audit eksternal
untuk menilai kepatuhan terhadap prinsip GCG.
Contoh kasus:
Sebuah perusahaan manufaktur menengah di Jawa Barat ingin menerapkan sistem
manajemen risiko berbasis teknologi. Namun, biaya implementasi perangkat lunak
dan pelatihan mencapai ratusan juta rupiah, sehingga manajemen menunda proyek
tersebut.
Solusi potensial:
Pemerintah dan asosiasi industri dapat menyediakan insentif atau dukungan
teknis bagi perusahaan yang serius menerapkan GCG, seperti keringanan pajak
atau subsidi pelatihan.
3.
Kepatuhan yang Bersifat Formalitas
Tantangan lain adalah penerapan GCG
yang hanya sebatas dokumen dan laporan, tanpa internalisasi nilai yang
sesungguhnya. Dalam kasus ini, perusahaan mungkin memiliki manual tata kelola,
kode etik, atau laporan tahunan yang indah di atas kertas, tetapi praktik di
lapangan tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut.
Mengapa ini berbahaya?
- Menciptakan kesenjangan antara citra publik dan realitas
operasional.
- Meningkatkan risiko reputasi jika publik atau media
menemukan bukti pelanggaran.
- Menghilangkan manfaat jangka panjang GCG sebagai alat
manajemen strategis.
Contoh:
Beberapa perusahaan yang masuk dalam kategori ini biasanya memiliki laporan
tahunan yang memuat skor GCG tinggi, tetapi tetap terlibat dalam kasus
pelanggaran hukum, manipulasi laporan keuangan, atau konflik kepentingan.
Solusi potensial:
Penerapan GCG harus diintegrasikan ke dalam proses bisnis harian,
didukung oleh kepemimpinan yang memberi teladan (lead by example), dan diukur
melalui indikator kinerja yang terhubung langsung dengan budaya perusahaan.
Menerapkan GCG secara efektif bukan
hanya soal memenuhi regulasi atau menghasilkan laporan tahunan yang menarik,
tetapi tentang membangun komitmen nyata dari seluruh elemen organisasi.
Tantangan seperti budaya organisasi yang resisten, biaya implementasi yang
tinggi, dan kepatuhan yang hanya bersifat formalitas harus diatasi dengan
strategi yang tepat.
Kunci keberhasilan ada pada kepemimpinan
yang visioner, dukungan sumber daya yang memadai, serta integrasi
nilai-nilai GCG ke dalam setiap aspek operasional perusahaan. Dengan demikian,
GCG dapat berfungsi sebagai fondasi yang kokoh untuk keberlanjutan bisnis dan
pertumbuhan jangka panjang.
Kesimpulan
Penerapan Good Corporate
Governance terbukti memberikan dampak signifikan terhadap kinerja dan
reputasi perusahaan. Melalui prinsip transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, dan kewajaran, GCG membangun ekosistem bisnis
yang sehat dan berdaya saing tinggi. Bukti empiris menunjukkan korelasi positif
antara GCG dengan peningkatan profitabilitas, efisiensi operasional, kepercayaan
publik, serta valuasi pasar.
Meskipun demikian, implementasi GCG
menghadapi tantangan nyata seperti resistensi budaya organisasi, biaya
penerapan yang tinggi, dan kecenderungan kepatuhan sebatas formalitas. Untuk
mengatasinya, perusahaan memerlukan kepemimpinan visioner, internalisasi
nilai-nilai GCG ke dalam budaya kerja, serta dukungan teknologi dan sumber daya
yang memadai.
Dengan komitmen yang konsisten, GCG
dapat menjadi pengungkit strategis yang tidak hanya menjaga keberlangsungan
usaha, tetapi juga memposisikan perusahaan sebagai pelaku bisnis yang
dihormati, dipercaya, dan relevan di mata publik maupun pasar global.
Daftar
Pustaka
- Cadbury, A. (1992). Report of the Committee on the
Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee and Co. Ltd.
- Claessens, S., & Yurtoglu, B. B. (2013). Corporate
Governance in Emerging Markets: A Survey. Emerging Markets Review,
15, 1–33. https://doi.org/10.1016/j.ememar.2012.03.002
- McKinsey & Company. (2019). Why Governance
Matters: A Global Perspective. McKinsey Insights Report.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2021). Pedoman Tata
Kelola Perusahaan yang Baik bagi Emiten atau Perusahaan Publik.
Jakarta: OJK.
- Siregar, S. V., & Bachtiar, Y. (2010). Corporate
Governance and Firm Value: The Role of Ownership Structure in Indonesia. Journal
of Indonesian Economy and Business, 25(3), 123–142.
- World Bank. (2018). Corporate Governance Toolkit for
Emerging Markets. Washington, DC: World Bank Group.
0 Response to "Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan"
Posting Komentar