Guru Disebut Beban, DPR Nikmati Tunjangan: Sebuah Ironi Kebijakan
Di negeri ini, profesi guru sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ungkapan itu menggambarkan betapa pentingnya peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun belakangan, muncul narasi yang menyebut bahwa guru justru menjadi beban negara karena anggaran pendidikan dianggap terlalu besar dan menyedot keuangan negara. Ironisnya, di saat yang sama, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap menikmati tunjangan dan fasilitas mewah tanpa banyak dipersoalkan.
Pertanyaannya: benarkah guru adalah
beban, sementara tunjangan DPR justru dianggap wajar?
Guru:
Fondasi Pendidikan, Bukan Beban
Dalam konteks pembangunan bangsa,
guru adalah garda terdepan. Tanpa guru, tidak akan ada dokter, insinyur,
pengusaha, atau bahkan politisi. Kualitas pendidikan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh kualitas gurunya.
Data Kementerian Pendidikan
menunjukkan bahwa jumlah guru di Indonesia mencapai jutaan orang. Wajar jika
anggaran untuk menggaji dan memberikan tunjangan kepada guru menyedot porsi
yang besar dari APBN. Namun perlu diingat, anggaran pendidikan sebesar 20
persen dari APBN bukan hanya untuk gaji guru, melainkan mencakup banyak hal
lain: infrastruktur sekolah, beasiswa, kurikulum, hingga pengembangan teknologi
pendidikan.
Menyebut guru sebagai “beban negara”
jelas tidak adil. Gaji guru, terutama guru honorer, masih jauh dari kata
sejahtera. Banyak di antara mereka yang bahkan menerima bayaran di bawah
standar kebutuhan hidup layak. Dalam kondisi seperti ini, menyalahkan guru
sebagai penyebab borosnya anggaran negara justru menunjukkan ketidakpekaan
terhadap realitas di lapangan.
DPR
dan Tunjangan yang Fantastis
Berbeda dengan guru, anggota DPR
justru mendapatkan fasilitas yang sering kali dianggap berlebihan. Selain gaji
pokok, mereka menerima berbagai tunjangan: tunjangan kehormatan, tunjangan
perumahan, tunjangan transportasi, hingga dana reses. Belum lagi fasilitas
mobil dinas, perjalanan dinas, serta asuransi kesehatan premium.
Jumlah total yang diterima seorang
anggota DPR setiap bulan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Jika
dibandingkan dengan gaji guru honorer yang hanya berkisar antara Rp500 ribu
hingga Rp2 juta per bulan, jurangnya amat lebar.
Yang menjadi persoalan, kinerja DPR
kerap menuai kritik. Banyak kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat,
absensi yang sering bolong, serta kontroversi seputar penggunaan anggaran perjalanan
dinas. Sementara itu, tunjangan dan fasilitas tetap mengalir deras.
Ironi
Kebijakan dan Prioritas Negara
Ketika guru disebut sebagai beban
negara, sementara DPR terus menikmati tunjangan, muncul ironi yang mencolok.
Guru adalah investasi jangka panjang bangsa. Setiap rupiah yang dialokasikan
untuk kesejahteraan guru pada dasarnya adalah modal untuk mencetak generasi
unggul di masa depan.
Sebaliknya, tunjangan DPR sering
kali tidak sebanding dengan manfaat langsung yang dirasakan rakyat. Publik
kemudian bertanya-tanya: apakah prioritas negara sudah tepat?
Mengembalikan
Perspektif yang Adil
Seharusnya, perdebatan bukan soal
guru yang dianggap beban, melainkan bagaimana negara bisa lebih adil dalam
mengelola anggaran. Jika kesejahteraan anggota DPR dijaga dengan baik, maka
guru juga layak mendapatkan perlakuan serupa.
Kesejahteraan guru bukan hanya soal
gaji, tetapi juga menyangkut penghargaan atas dedikasi mereka. Bayangkan jika seorang
guru harus mengajar puluhan murid setiap hari dengan penghasilan yang minim,
sementara melihat para wakil rakyat duduk nyaman di kursi empuk dengan
fasilitas berlimpah. Ketidakadilan semacam ini bisa menggerus motivasi dan rasa
hormat publik terhadap profesi guru.
Saatnya
Membalik Narasi
Guru tidak pernah menjadi beban
negara. Justru, guru adalah penopang utama pembangunan bangsa. Menyebut guru
sebagai beban sama artinya dengan meremehkan masa depan Indonesia itu sendiri.
Sementara itu, tunjangan DPR yang
besar seharusnya juga dibarengi dengan tanggung jawab yang sepadan. Jika guru
dituntut mencetak generasi cerdas, maka DPR dituntut untuk melahirkan kebijakan
yang bijak dan berpihak pada rakyat.
Ironi ini seharusnya menyadarkan
kita semua bahwa prioritas kebijakan negara harus dikaji ulang. Jika
benar-benar ingin membangun bangsa yang maju, mulailah dengan menghargai guru bukan
dengan menyebut mereka beban, melainkan dengan menempatkan mereka sebagai aset
berharga bangsa.
0 Response to "Guru Disebut Beban, DPR Nikmati Tunjangan: Sebuah Ironi Kebijakan"
Posting Komentar