Aksi Penjarahan: Antara Perlawanan dan Penyimpangan
Di balik riuh sejarah umat manusia, selalu ada bab yang gelap: bab ketika kemiskinan, ketidakadilan, dan amarah bersatu menjadi bara. Bara itu, ketika tak lagi mampu dikendalikan oleh hukum dan akal sehat, meledak dalam bentuk penjarahan. Kata penjarahan sering membuat bulu kuduk berdiri, karena ia identik dengan kekacauan, kerusuhan, dan hilangnya kendali atas norma. Namun, yang membuatnya lebih rumit adalah ketika penjarahan tak lagi berdiri sendiri sebagai tindakan kriminal, melainkan hadir dengan wajah ganda: kadang dipandang sebagai bentuk perlawanan, kadang dianggap sebagai penyimpangan.
Fenomena penjarahan seolah dua sisi
mata uang. Di satu sisi, ia bisa muncul sebagai jeritan perut kosong, simbol
rakyat kecil yang tertindas, dan tanda bahwa ada kesenjangan yang semakin
melebar. Tetapi di sisi lain, ia juga bisa berubah menjadi cermin kerakusan, di
mana dalih membela rakyat hanya menjadi topeng untuk menutupi keserakahan
segelintir orang.
Rakyat,
Solidaritas, dan Luka Sosial
Kata rakyat selalu menjadi
simbol yang luhur. Ia menggambarkan kekuatan kolektif, sumber kedaulatan,
bahkan alasan bagi pemerintah untuk menjalankan roda kekuasaan. Namun, sejarah
juga mencatat bagaimana kata rakyat sering diperalat sebagai dalih.
Dalam aksi penjarahan, rakyat sering
dijadikan “nama besar” yang dipakai untuk membenarkan tindakan merampas. Di
jalan-jalan kota saat kerusuhan, kita sering mendengar teriakan: “Ini untuk
rakyat!” Namun, benarkah semua itu murni untuk rakyat?
Solidaritas sejati lahir dari
kebersamaan yang saling menopang, bukan dari merusak. Ia terbangun di atas
dasar kepedulian, bukan perampasan. Ketika penjarahan dilakukan dengan merusak
toko milik pedagang kecil, atau merampas barang-barang yang justru bukan milik
orang kaya, di sanalah solidaritas berubah menjadi penyimpangan. Rakyat menjadi
korban dua kali: pertama, korban ketidakadilan sistem; kedua, korban dari
sesamanya sendiri.
Penjarahan
Sebagai Perlawanan
Kita tidak bisa menutup mata: ada
kalanya penjarahan muncul sebagai bentuk perlawanan. Saat rakyat lapar, ketika
kesenjangan terlalu lebar, ketika pemerintah gagal melindungi, penjarahan bisa
dilihat sebagai respon sosial. Sejarah di berbagai negara membuktikan
hal ini.
Di Indonesia, kita pernah melihat
bagaimana krisis moneter 1998 melahirkan gelombang penjarahan besar-besaran.
Toko-toko dirusak, barang-barang diangkut, dan sebagian besar pelakunya adalah
rakyat kecil yang merasa sudah tidak punya apa-apa lagi. Perlawanan itu lahir
dari rasa frustasi yang mendalam.
Dalam kerangka sosiologi, penjarahan
kadang dipahami sebagai collective behavior—perilaku kolektif spontan
yang muncul saat norma sosial runtuh. Ketika aturan hukum tak lagi dihormati,
ketika rasa lapar lebih kuat daripada rasa takut, maka penjarahan menjadi simbol
“perlawanan jalanan”.
Namun, perlawanan ini selalu
problematis. Ia memang menyuarakan jeritan, tetapi sekaligus melukai nilai
kemanusiaan itu sendiri.
Penjarahan
Sebagai Penyimpangan
Di sisi lain, penjarahan tidak
jarang lahir bukan dari rasa lapar, tetapi dari kerakusan. Inilah sisi kelam
yang membuat kita harus berhati-hati.
Contoh nyata bisa kita lihat pada
banyak peristiwa: ketika ada kerusuhan sosial, selalu ada kelompok tertentu yang
memanfaatkan situasi. Mereka merampas barang-barang mewah, televisi, perhiasan,
bahkan kendaraan bermotor. Pertanyaannya: apakah itu masih bisa disebut
“perlawanan”? Atau justru bentuk paling nyata dari penyimpangan moral?
Inilah dilema penjarahan: sulit
memisahkan mana yang lahir dari perut kosong, dan mana yang lahir dari hati
yang tamak. Pada akhirnya, keduanya bercampur, menciptakan gambaran kabur
antara solidaritas dan keserakahan.
Luka
yang Tak Pernah Sembuh
Penjarahan meninggalkan luka
panjang, bukan hanya pada korban langsung, tetapi juga pada tatanan sosial.
Bagi pedagang kecil yang tokonya dijarah, luka itu begitu dalam. Mereka
kehilangan harta, usaha, bahkan kepercayaan terhadap sesama.
Lebih jauh lagi, penjarahan merusak
jaringan sosial yang seharusnya menopang kehidupan rakyat. Bagaimana kita bisa
berbicara tentang persatuan, bila sesama rakyat justru saling merampas?
Bagaimana kita bisa membangun solidaritas, bila yang tertinggal hanyalah rasa
saling curiga?
Luka sosial ini hanya bisa
disembuhkan dengan keadilan yang nyata. Bukan sekadar menertibkan kerusuhan,
tetapi memperbaiki akar masalah: ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan
yang terlalu mencolok.
Di
Antara Gelap dan Terang
Jika kita merenung lebih dalam,
penjarahan selalu mengandung pelajaran moral. Ia adalah cermin, memperlihatkan
wajah kita yang sebenarnya.
Ketika penjarahan terjadi, kita bisa
bertanya: di mana negara saat rakyatnya kelaparan? Di mana pemerintah ketika
rakyat merasa tak punya tempat mengadu? Tetapi kita juga harus bertanya: di
mana nurani kita, ketika dalih rakyat dipakai untuk merampas milik orang lain
yang sama-sama berjuang?
Mungkin inilah yang dimaksud oleh
seorang filsuf bahwa setiap tindakan manusia selalu berada di antara gelap dan
terang. Penjarahan bisa menjadi teriakan keadilan, tapi sekaligus bisa menjadi
wajah paling kelam dari keserakahan manusia.
Belajar
dari Sejarah
Sejarah dunia memberi kita banyak
pelajaran. Di Prancis, sebelum Revolusi 1789, rakyat lapar menyerbu lumbung
gandum. Di Amerika Serikat, kerusuhan rasial di tahun 1960-an ditandai dengan
penjarahan di berbagai kota. Di Indonesia, kerusuhan Mei 1998 meninggalkan
trauma mendalam, di mana penjarahan menjadi simbol amarah sekaligus luka
bangsa.
Semua itu menunjukkan bahwa
penjarahan bukan hanya soal kriminalitas, melainkan tanda adanya krisis sosial.
Di balik kaca pecah dan etalase kosong, ada jeritan rakyat yang tak pernah
didengar.
Namun, apakah kita harus menerima
penjarahan sebagai sesuatu yang wajar? Tidak. Sejarah juga mengajarkan bahwa
perlawanan sejati tidak lahir dari menghancurkan sesama rakyat, melainkan dari
membangun kesadaran kolektif untuk menuntut keadilan.
Solidaritas
Sejati
Yang kita butuhkan bukanlah
solidaritas palsu yang menghalalkan perampasan, melainkan solidaritas sejati.
Solidaritas yang membela tanpa merampas, yang menolong tanpa melukai, yang
menuntut keadilan tanpa mengorbankan yang lemah.
Negara harus hadir, bukan hanya
dengan pasukan keamanan, tetapi dengan kebijakan yang mengurangi kesenjangan.
Pendidikan, lapangan kerja, perlindungan sosial—semua itu adalah benteng agar
rakyat tidak lagi memilih jalan penjarahan.
Di sisi lain, masyarakat juga harus
membangun kesadaran baru. Kesadaran bahwa rakyat bukanlah alasan untuk
menjarah, melainkan alasan untuk saling melindungi.
Penutup
Aksi penjarahan adalah paradoks: ia
bisa dilihat sebagai jeritan perlawanan, tetapi juga bisa menjadi wajah
penyimpangan. Ia lahir dari rasa lapar, tetapi juga dari kerakusan. Ia
mencerminkan kegagalan sistem, tetapi sekaligus menguji nurani kita.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus
kita renungkan adalah: apakah kita akan membiarkan rakyat terus menjadi
korban—korban dari ketidakadilan, sekaligus korban dari sesamanya sendiri?
Ataukah kita akan membangun solidaritas sejati, yang benar-benar mengangkat
rakyat, bukan merampas atas nama mereka?
Penjarahan mungkin selalu ada dalam
sejarah, tetapi maknanya tidak boleh kita biarkan kabur. Rakyat harus kembali
pada makna sejatinya: sebagai sumber kekuatan, sebagai alasan untuk saling
melindungi, dan sebagai jiwa dari keadilan itu sendiri.
Hanya dengan itu, kita bisa
mengakhiri paradoks lama: bahwa penjarahan bukan lagi “antara perlawanan dan
penyimpangan”, melainkan sebuah peringatan agar kita terus menjaga kemanusiaan.

0 Response to "Aksi Penjarahan: Antara Perlawanan dan Penyimpangan"
Posting Komentar