Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Mengapa Seruan Bubarkan DPR Menggema? Sebuah Refleksi Krisis Kepercayaan


Dalam beberapa bulan terakhir, media sosial dan ruang publik di Indonesia sering dipenuhi dengan seruan keras: “Bubarkan DPR!”. Kalimat singkat ini menyebar luas, mulai dari komentar netizen, mural di jalanan, hingga perbincangan di warung kopi. Seruan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan publik terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi wakil rakyat, tetapi justru kerap dianggap menjauh dari rakyat.

DPR dan Tugas yang Mulia

Secara ideal, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi utama: membuat undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menyerap aspirasi rakyat. Lembaga ini adalah pilar penting dalam sistem demokrasi. Tanpa DPR, mekanisme check and balance terhadap kekuasaan eksekutif tidak akan berjalan. Artinya, keberadaan DPR sejatinya sangat vital dalam menjaga agar negara tidak jatuh pada otoritarianisme.

Namun, realitas di lapangan kerap berseberangan dengan idealisme tersebut. Skandal korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR, keputusan-keputusan kontroversial dalam pengesahan undang-undang, hingga gaya hidup mewah yang kontras dengan kondisi rakyat, semuanya menjadi bahan bakar lahirnya ketidakpercayaan publik.

Krisis Kepercayaan yang Menyulut Amarah

Krisis kepercayaan terhadap DPR sudah lama tumbuh. Berbagai survei menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR cenderung rendah dibandingkan lembaga negara lain. Beberapa faktor yang menjadi pemicu utama antara lain:

  1. Kasus korupsi berulang – Hampir setiap periode, ada saja anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Hal ini memperkuat stigma bahwa kursi parlemen bukan lagi tempat pengabdian, melainkan ajang mencari keuntungan pribadi.
  2. Pengesahan undang-undang yang kontroversial – Misalnya dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja atau revisi UU KPK, banyak masyarakat merasa suara mereka diabaikan.
  3. Keterputusan komunikasi dengan rakyat – Alih-alih hadir sebagai representasi masyarakat, DPR kerap dianggap elitis, sibuk dengan agenda politik internal dan perebutan kepentingan.

Dari akumulasi itu, wajar bila sebagian rakyat merasa jenuh lalu memilih menyuarakan opsi ekstrem: “Bubarkan DPR!”.

Antara Emosi Publik dan Jalan Rasional

Seruan membubarkan DPR tentu mencerminkan amarah yang otentik. Namun pertanyaannya: apakah membubarkan DPR benar-benar solusi? Atau hanya luapan emosional dari kekecewaan yang menumpuk?

Dalam sistem demokrasi modern, DPR adalah instrumen penting. Jika dibubarkan tanpa diganti dengan mekanisme representasi baru, maka negara justru berpotensi kehilangan keseimbangan kekuasaan. Meski begitu, seruan itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Ia adalah alarm keras bahwa ada yang salah dalam hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Refleksi dan Tuntutan Perubahan

Alih-alih benar-benar membubarkan DPR, yang lebih mendesak adalah reformasi total. Beberapa langkah yang sering didiskusikan para pengamat antara lain:

  • Mereformasi sistem pemilu agar menghasilkan wakil rakyat yang lebih berkualitas dan akuntabel.
  • Memperkuat mekanisme transparansi dalam setiap pembahasan undang-undang, sehingga publik dapat mengawasi sejak awal.
  • Memperketat aturan etik dan sanksi bagi anggota DPR yang terbukti menyalahgunakan jabatan.
  • Mendorong partisipasi publik lebih luas dalam proses legislasi.

Dengan langkah-langkah ini, harapannya DPR dapat merebut kembali kepercayaan yang hilang dan benar-benar kembali pada esensi utamanya: menjadi rumah rakyat.

Penutup

Seruan “Bubarkan DPR” adalah cermin dari luka kepercayaan publik yang dalam. Ia bukan sekadar slogan, tetapi refleksi dari demokrasi yang pincang. Pertanyaannya bukan sekadar apakah DPR harus bubar, melainkan bagaimana cara kita membangun ulang hubungan antara rakyat dan wakilnya.

Jika DPR ingin tetap eksis dan relevan, mereka harus berani berubah. Karena tanpa perubahan, seruan itu akan terus menggema dan setiap gema adalah tanda bahwa demokrasi kita sedang sakit.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengapa Seruan Bubarkan DPR Menggema? Sebuah Refleksi Krisis Kepercayaan"

Posting Komentar