Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Rangkap Jabatan Wakil Menteri di Kursi Komisaris: Etika yang Tersandera


Di langit birokrasi negeri ini, di antara sinar lampu istana dan derap langkah para pejabat, tumbuh sebuah polemik yang mengaburkan batas antara tanggung jawab dan kepentingan pribadi. Pada puncak pemerintahan, hadir figur-figur wakil menteri yang duduk pula di kursi komisaris BUMN dua peran yang semestinya saling berjauhan, kini justru berpelukan erat dalam tarian kekuasaan.

Fenomena ini bukan sekadar percikan kabar, melainkan cermin dilema tata kelola negara. Ketika pengemban amanah publik juga memegang kendali di ruang bisnis negara, nurani publik pun bertanya: apakah integritas telah tergadai di altar pragmatisme?

 

Potret Rangkap Jabatan: Antara Kehormatan dan Kepentingan

Deretan nama terpatri di halaman-halaman berita. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, menjabat komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. Taufik Hidayat, Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga, duduk di kursi komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia. Giring Ganesha, Wakil Menteri Kebudayaan, menjadi komisaris PT Garuda Maintenance Facility. Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, menjabat komisaris utama Telkomsel. Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan, menjadi komisaris di Bank BTN.

Nama-nama ini hanyalah sebagian dari 26 wakil menteri di Kabinet Merah Putih yang terdata merangkap jabatan di BUMN. Dari sektor energi hingga keuangan, dari telekomunikasi hingga perbankan, kursi komisaris menjadi ladang yang digarap oleh mereka yang juga mengatur arah kebijakan kementerian.

 

Landasan Hukum: Tegas di Atas Kertas, Kabur di Lapangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa pejabat negara, termasuk wakil menteri, dilarang merangkap jabatan di BUMN atau entitas lain. Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan rangkap jabatan berpotensi mencabut nilai integritas dan merusak prinsip good governance.

Belum berhenti di situ, Putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 menegaskan larangan ini berlaku bagi wakil menteri di BUMN, perusahaan swasta, maupun organisasi yang dibiayai negara. Pasal 27B UU BUMN dan Pasal 17 UU Pelayanan Publik pun memahat larangan serupa: komisaris BUMN tidak boleh merangkap jabatan lain, apalagi di lingkar kekuasaan eksekutif.

Namun, di ruang praktik, hukum sering kali terjebak dalam celah interpretasi. Kekosongan aturan teknis yang eksplisit membuka peluang “pengakalan” formalitas. Regulasi ada, tetapi semangatnya terancam pudar ketika benturan kepentingan dibiarkan bersembunyi di balik legitimasi jabatan.

 

Konflik Kepentingan: Bayang yang Menggerus Kepercayaan

Ketika seorang wakil menteri duduk di kursi komisaris BUMN, ia menjadi pengawas sekaligus penguasa yang mengatur arah kebijakan kementerian. Posisi ganda ini menyingkirkan fungsi check-and-balance, menciptakan potensi moral hazard, dan mengikis independensi lembaga.

Pakar seperti Hardjuno Wiwoho (Universitas Airlangga), Yeka Hendra Fatika (Ombudsman RI), dan Danang Widoyoko (Transparency International Indonesia) telah memperingatkan: rangkap jabatan menanam bibit penyalahgunaan wewenang. Achmad dari NEXT Indonesia menyebutnya sebagai “pelanggaran yang dihalalkan”, sementara Achmad Hanif menilai ini melemahkan hak pengawasan dan meredupkan sinyal reformasi birokrasi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memotret kondisi lebih luas: dari 263 komisaris dan dewan pengawas BUMN, 53,9% merangkap jabatan. Di antaranya, empat wakil menteri Rosan P. Roeslani (Wamen BUMN) di Pertamina, Suahasil Nazara (Wamen Keuangan) di PLN, Muhammad Herindra (Wamen Pertahanan) di Len Industri, dan Kartika Wirjoatmodjo (Wamen BUMN) di BRI.

Bhima Yudhistira (Center of Economic and Law Studies) menilai praktik ini mendistorsi meritokrasi, mengubah jabatan komisaris menjadi kuota politik, bukan fungsi profesional. Zaenur Rohman (Pusat Kajian Anti Korupsi UGM) memperingatkan bahwa tanpa profesional independen, BUMN akan tetap menjadi “sapi perah” elite politik.

 

Meritokrasi yang Tergadaikan

Kursi komisaris sejatinya adalah pos strategis untuk memastikan BUMN dikelola secara efisien, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik. Ia memerlukan sosok dengan kompetensi teknis, pemahaman bisnis, dan integritas tinggi. Namun, dalam banyak kasus, kursi itu justru diisi oleh pejabat politik yang loyalitasnya bukan pada publik, melainkan pada lingkar kekuasaan.

Ambisi politik, atas nama nasionalisme atau sinergi, sering kali mengorbankan prinsip profesionalisme. Loyalitas personal menggantikan kemampuan profesional, dan pengawasan berubah menjadi formalitas tanpa taring. Dalam situasi ini, meritokrasi terpinggirkan, dan BUMN kehilangan salah satu instrumen vital untuk menjaga kinerja dan kepercayaannya.

 

Dampak Psikologis pada Tata Kelola

Konflik kepentingan tak hanya berdampak pada angka dan laporan tahunan. Ia juga menyentuh psikologi organisasi. Direksi BUMN yang tahu bahwa komisarisnya adalah pejabat kementerian cenderung bersikap kompromistis, bukan kritis. Keputusan bisnis bisa terwarnai pertimbangan politik, bukan murni kalkulasi korporasi.

Ombudsman, auditor eksternal, dan komisaris independen kehilangan ruang gerak yang bebas. Transparansi menjadi jargon yang hampa, karena peninjau dan pemain menyatu dalam satu tubuh kekuasaan.

 

Suara dari Publik: Resah dan Sinis

Keresahan publik bergema, bahkan di ruang maya. Di forum-forum daring, komentar sinis bermunculan: “Sama saja seperti seorang menteri yang masih jadi direktur utama di perusahaan konflik kepentingannya terlalu tinggi.”

Suara-suara ini mencerminkan krisis kepercayaan yang lebih besar. Publik mulai melihat BUMN bukan sebagai aset bersama, melainkan sebagai panggung bagi para pejabat untuk merangkap keuntungan.

 

Harapan di Tengah Kabut

Meski langit etika terlihat kelabu, harapan belum padam. Beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti GMIE 2045 dan Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), mendorong revisi undang-undang untuk mempertegas larangan rangkap jabatan. Proses seleksi komisaris di BUMN harus dilakukan secara terbuka, berbasis kompetensi, dan melibatkan panel independen yang bebas dari pengaruh politik.

Pemerintah pun didorong untuk membalik narasi: menjadikan BUMN sebagai amanah publik yang dijaga oleh profesional sejati, bukan panggung distribusi kekuasaan. Jika reformasi ini dijalankan, integritas bisa kembali menjadi mahkota birokrasi.

 

Etika yang Harus Dilepaskan dari Belenggu

Fenomena rangkap jabatan wakil menteri di kursi komisaris adalah ujian bagi republik ini. Ia mempertaruhkan kredibilitas negara, menguji komitmen terhadap prinsip good governance, dan menantang kesungguhan reformasi birokrasi.

Jika keberanian politik untuk memperbaiki aturan hadir, jika suara publik tak lagi diabaikan, maka etika yang tersandera bisa terbebas. Negeri ini bukan milik kekuasaan semata, tetapi milik seluruh rakyat yang mempercayakan masa depannya pada integritas pemerintahan.

Maka, pertanyaan itu kembali menggema di ruang publik: apakah kita rela membiarkan etika tetap terbelenggu demi kenyamanan segelintir elite, atau kita akan memilih untuk memutus rantai pragmatisme dan membebaskan integritas dari kurungan kekuasaan?

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rangkap Jabatan Wakil Menteri di Kursi Komisaris: Etika yang Tersandera"

Posting Komentar