Menyadari kadar diri
Dalam hidup ini, setiap insan adalah
seperti sebuah purnama yang kadang penuh bercahaya, kadang meredup di telan
bayangan malam. Namun purnama yang bijaksana tahu kapan bersinar dan kapan
menepi, sebab ia sadar akan takdir perjalanannya. Begitu pula manusia yang
mampu menyadari kadar dirinya sendiri—ia tidak akan larut dalam ilusi kemegahan
dunia yang fana, maupun tenggelam dalam rasa kecil yang tak berkesudahan.
Menyadari kadar diri adalah langkah pertama menuju kemerdekaan jiwa. Ini bukan
sekadar mengenal batas kemampuan, tetapi menerima hakikat bahwa setiap insan
diciptakan dengan potensi yang unik dan tujuan yang mulia. Bukankah embun pagi
tak pernah iri pada hujan deras? Ia tahu bahwa kelembutannya sendiri telah
cukup untuk menyegarkan rerumputan.
Manusia yang memahami kadar dirinya
berjalan tanpa perlu bersaing dengan bayangan orang lain. Mereka tidak silau
oleh gemerlap pujian dan tidak jatuh oleh cemoohan. Mereka tidak mendaki gunung
yang bukan miliknya hanya demi membuktikan sesuatu kepada dunia. Sebab mereka
sadar, bahwa keberhasilan sejati bukanlah soal tinggi atau rendahnya puncak
yang diraih, tetapi sejauh mana hati tetap damai dan bersyukur atas apa yang
telah dijalani.
Namun menyadari kadar diri bukan
berarti menyerah pada keterbatasan. Bukan pula membenarkan kemalasan.
Sebaliknya, ia adalah keberanian untuk terus bertumbuh dengan tetap berpijak
pada bumi kenyataan. Ia adalah seni mengisi ruang hidup dengan kemampuan
terbaik tanpa mengusik ruang orang lain. Seperti akar pohon yang tumbuh dalam
diam, menyokong cabangnya yang menjulang tinggi tanpa pernah sombong.
Mereka yang tahu kadar dirinya tak
pernah mendongak sombong kepada yang lebih kecil, sebab mereka tahu perjalanan
setiap insan berbeda. Mereka juga tidak menunduk hina kepada yang lebih tinggi,
sebab mereka sadar bahwa setiap manusia membawa cahaya yang tak ternilai.
Menyadari kadar diri adalah adab
yang paling luhur, sebagaimana Fudhail bin Iyadh
rahimahullah berkata, “Inti dari adab adalah seseorang tahu kadar dirinya.”
Dalam kesadaran itu, lahirlah rendah hati yang sejati—bukan karena merasa tak
berharga, tetapi karena memahami bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh pandangan
manusia, melainkan oleh penerimaan diri dan keridhaan Sang Pencipta.
Ketahuilah, menyadari kadar diri
juga adalah keberanian untuk berkata cukup.
Cukup mengejar apa yang memang bukan milik kita.
Cukup bertahan dalam persaingan yang hanya menambah letih.
Cukup larut dalam perbandingan yang hanya membunuh kebahagiaan.
Namun, cukup tidak berarti berhenti
bermimpi.
Cukup adalah tentang mengenali batas agar kita bisa fokus pada kekuatan sejati.
Seperti burung yang tak iri pada ikan di lautan,
ia tahu bahwa langit adalah takdirnya.
Mereka yang menyadari kadar dirinya
berjalan dalam keheningan penuh cahaya.
Tak gentar oleh riuh dunia.
Tak tertipu oleh pujian semu.
Karena mereka tahu, kebahagiaan sejati tak terletak di luar sana,
tetapi di dalam hati yang telah berdamai dengan takdirnya sendiri.
Sebagaimana daun yang rela gugur
untuk memberi ruang pada tunas baru,
kita pun harus rela menerima batas-batas diri kita,
agar hidup tetap tumbuh dalam kedamaian yang menenteramkan.
Sejatinya, menyadari kadar diri
adalah seni hidup yang akan membawa kita pada kemenangan yang hakiki:
kemenangan hati yang damai dan bersyukur, tanpa perlu menjadi selain diri
sendiri.
Copyrigh Nono Sugiono
0 Response to "Menyadari kadar diri "
Posting Komentar