BAB 1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ANALISIS PROSES BISNIS
PENDAHULUAN
Setiap
organisasi baik perusahaan besar, instansi pemerintah, maupun usaha kecil memiliki
aktivitas yang dilakukan secara berulang untuk mencapai tujuan tertentu.
Aktivitas inilah yang disebut sebagai proses bisnis. Misalnya, dalam
sebuah rumah sakit, terdapat proses pendaftaran pasien, pemeriksaan dokter,
hingga pemberian resep obat. Di perusahaan manufaktur, proses bisnis dapat
berupa pemesanan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi produk ke
pelanggan.
Untuk
memastikan seluruh proses ini berjalan efisien, efektif, dan selaras dengan
tujuan organisasi, diperlukan suatu pendekatan sistematis yang disebut Analisis
Proses Bisnis (Business Process Analysis, BPA). Analisis ini tidak hanya
sekadar mencatat alur kegiatan, tetapi juga menggali bagaimana alur tersebut
dapat diperbaiki, dipercepat, dan disesuaikan dengan tantangan lingkungan
bisnis modern.
Bila
dianalogikan, analisis proses bisnis adalah seperti seorang dokter yang
mendiagnosis kesehatan tubuh. Proses yang sehat akan membuat organisasi tumbuh
berkelanjutan, sedangkan proses yang penuh hambatan atau inefisiensi dapat
melemahkan daya saing.
ASAL USUL KONSEP PROSES BISNIS
Konsep
proses bisnis sering dianggap sebagai hal yang modern, karena istilah business
process baru banyak digunakan pada abad ke-20 seiring berkembangnya ilmu
manajemen dan teknologi informasi. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, praktik
pengorganisasian pekerjaan dan aktivitas manusia secara sistematis sebenarnya
sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa proses bisnis
bukan sekadar teori akademik, melainkan bagian dari naluri manusia untuk
bekerja bersama secara teratur demi mencapai tujuan yang lebih besar.
Proses Bisnis pada Peradaban Kuno
Sejarah
membuktikan bahwa sejak zaman kuno, manusia sudah menggunakan prinsip-prinsip
dasar proses bisnis, meskipun belum diberi nama formal.
- Mesir Kuno: Salah satu contoh paling
terkenal adalah pembangunan piramida. Piramida bukan hanya monumen
besar, tetapi juga simbol kemampuan manusia dalam mengorganisir pekerjaan
berskala masif. Untuk membangun piramida, dibutuhkan:
- Koordinasi
tenaga kerja:
ribuan pekerja terlibat, mulai dari tukang batu, pengangkut, hingga
arsitek.
- Manajemen
sumber daya:
bahan baku seperti batu kapur dan granit harus diangkut dari lokasi yang
jauh, memerlukan perencanaan logistik yang rumit.
- Pembagian
tugas yang jelas:
ada pengawas, mandor, dan pekerja lapangan dengan peran yang berbeda
namun saling melengkapi.
Semua ini memperlihatkan bahwa prinsip dasar proses bisnis—yaitu
koordinasi, efisiensi, dan pengaturan aktivitas dalam urutan tertentu—sudah
dipraktikkan ribuan tahun lalu.
- Zaman Romawi: Kekaisaran Romawi dikenal
memiliki sistem administrasi pemerintahan dan militer yang terstruktur.
Contoh nyata:
- Administrasi
pajak: Romawi memiliki sistem
pencatatan dan pemungutan pajak yang rapi untuk membiayai infrastruktur
seperti jalan raya, saluran air, dan gedung publik.
- Militer: legiun Romawi dikelola
seperti organisasi modern, dengan pembagian peran (centurion, legioner, dsb.),
hierarki komando, serta strategi logistik untuk mengatur pergerakan
pasukan di wilayah yang luas.
Tanpa pengelolaan proses yang baik, mustahil Kekaisaran
Romawi mampu bertahan berabad-abad dan mengendalikan wilayah yang sangat luas
di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Peralihan Menuju Konsep Modern
Meskipun
praktik pengorganisasian sudah ada sejak lama, perhatian ilmiah terhadap
proses bisnis baru benar-benar muncul pada masa Revolusi Industri (abad
ke-18 dan 19). Revolusi ini ditandai oleh:
- Munculnya mesin dan teknologi
produksi yang memungkinkan barang
diproduksi dalam jumlah besar.
- Perusahaan manufaktur skala
besar yang membutuhkan koordinasi
antarbagian (produksi, distribusi, keuangan, tenaga kerja).
- Tuntutan efisiensi dan
kecepatan,
karena kompetisi semakin ketat.
Dalam
kondisi ini, pengelolaan tradisional tidak lagi cukup. Para pemikir dan
praktisi manajemen mulai mencari metode ilmiah untuk merancang,
memantau, dan memperbaiki proses bisnis. Inilah yang menjadi titik awal
perkembangan analisis proses bisnis modern.
Contoh Kontekstual
Sebagai
ilustrasi, kita bisa membandingkan dua situasi:
- Tukang sepatu di abad
pertengahan:
biasanya hanya seorang individu atau keluarga kecil yang memproduksi
sepatu dari awal sampai akhir. Prosesnya sederhana dan tidak terlalu
membutuhkan analisis mendalam.
- Pabrik sepatu di era Revolusi
Industri: melibatkan ratusan pekerja
dengan pembagian kerja yang ketat (ada yang memotong kulit, ada yang
menjahit, ada yang memasang sol). Proses ini jauh lebih kompleks sehingga
memerlukan sistem manajemen yang jelas agar tidak terjadi keterlambatan,
cacat produksi, atau pemborosan bahan baku.
Dengan
kata lain, kompleksitas organisasi dan skala produksi yang semakin besar
menjadi pendorong utama lahirnya perhatian serius terhadap proses bisnis
sebagai bidang kajian yang penting.
Konsep
proses bisnis sejatinya telah ada sejak peradaban kuno, ketika manusia mulai
bekerja sama untuk menyelesaikan proyek besar. Namun, Revolusi Industri
menjadi titik balik penting yang melahirkan perhatian ilmiah terhadap cara
kerja organisasi. Dari Mesir Kuno hingga Romawi, lalu berkembang pesat di abad
ke-18 dan 19, kita bisa melihat bagaimana prinsip-prinsip proses bisnis menjadi
fondasi dari manajemen modern yang kita kenal sekarang.
EVOLUSI MANAJEMEN OPERASI
Memasuki akhir abad ke-19, dunia
industri mengalami transformasi besar-besaran. Jika sebelumnya banyak usaha
masih berbentuk perusahaan keluarga berskala kecil dengan
sistem kerja sederhana, maka di era ini mulai bermunculan korporasi
besar yang mengelola produksi massal dengan skala jauh lebih kompleks.
Perubahan ini dipicu oleh Revolusi Industri, kemajuan
teknologi mesin, serta meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang
konsumsi.
Dalam situasi seperti ini,
perusahaan tidak lagi bisa mengandalkan cara kerja tradisional yang hanya
bertumpu pada pengalaman atau kebiasaan. Mereka membutuhkan pendekatan yang
lebih sistematis dan ilmiah untuk mengatur tenaga kerja,
waktu, dan sumber daya produksi. Dari sinilah lahir pemikiran baru dalam
manajemen operasi yang menjadi fondasi awal analisis proses bisnis
modern.
Frederick
Winslow Taylor dan Manajemen Ilmiah
Salah satu tokoh kunci dalam
perubahan ini adalah Frederick Winslow Taylor (1856–1915),
yang dikenal sebagai Bapak Manajemen Ilmiah (Scientific Management).
Taylor memperkenalkan gagasan bahwa pekerjaan seharusnya tidak dilakukan secara
asal atau berdasarkan intuisi semata, melainkan harus dianalisis secara ilmiah
untuk menemukan cara paling efisien.
Metode yang dikembangkan Taylor dikenal
sebagai studi waktu dan gerak (time and motion study).
Prinsipnya sederhana tetapi revolusioner: setiap gerakan pekerja dalam
melakukan suatu tugas dapat diukur, dihitung, dan dibandingkan. Dari hasil
pengukuran itu, manajer bisa menentukan cara kerja yang paling efisien.
Contoh penerapan: Taylor pernah melakukan eksperimen di pabrik baja Bethlehem Steel,
Amerika Serikat. Ia mengamati cara pekerja memindahkan batangan besi berat.
Dengan menganalisis gerakan, postur tubuh, serta jumlah istirahat yang dibutuhkan,
Taylor menyusun metode baru yang memungkinkan pekerja memindahkan lebih banyak
besi dalam waktu lebih singkat, tanpa menguras tenaga berlebihan. Hasilnya,
produktivitas meningkat drastis, sementara biaya produksi bisa ditekan.
Selain itu, Taylor juga
memperkenalkan konsep pembagian kerja yang jelas (division of labor).
Ia berpendapat bahwa pekerja sebaiknya diberi tugas spesifik sesuai keahlian
mereka, sedangkan perencanaan dan pengawasan dilakukan oleh manajer. Konsep ini
menjadi dasar lahirnya struktur organisasi modern, di mana terdapat pemisahan
tegas antara “perencana” dan “pelaksana”.
Henry Ford dan
Jalur Perakitan
Tokoh penting lainnya adalah Henry
Ford (1863–1947), pendiri perusahaan otomotif Ford Motor Company. Ford
mengadopsi prinsip-prinsip Taylor, tetapi membawanya ke tingkat yang lebih
praktis dan berdampak luas.
Ford memperkenalkan konsep jalur
perakitan (assembly line) pada awal abad ke-20 dalam produksi mobil.
Ide ini sederhana: alih-alih seorang pekerja membuat mobil secara penuh dari
awal hingga selesai, proses produksi dipecah menjadi tugas-tugas kecil
dan berulang. Setiap pekerja hanya fokus pada satu bagian, misalnya
memasang roda, kaca, atau mesin. Mobil bergerak di sepanjang jalur perakitan,
dan setiap pekerja menyelesaikan bagian yang menjadi tanggung jawabnya.
Dampak besar dari inovasi
Ford:
1.
Efisiensi meningkat
drastis. Waktu produksi sebuah mobil yang
sebelumnya memakan lebih dari 12 jam dapat dipangkas menjadi kurang dari 3 jam.
2.
Biaya produksi turun. Karena waktu lebih singkat dan produktivitas lebih tinggi, harga mobil
menjadi jauh lebih murah. Ford Model T, yang awalnya hanya bisa dimiliki
kalangan kaya, akhirnya dapat dibeli oleh kelas menengah Amerika.
3.
Standarisasi kualitas. Dengan jalur perakitan, setiap mobil diproduksi dengan cara yang sama,
sehingga kualitas lebih konsisten.
Inovasi Ford tidak hanya merevolusi
industri otomotif, tetapi juga mengubah wajah industri manufaktur dunia.
Prinsip jalur perakitan kemudian diadopsi dalam berbagai sektor lain seperti
elektronik, makanan, tekstil, bahkan industri jasa.
Signifikansi
bagi Perkembangan Analisis Proses Bisnis
Peran Taylor dan Ford sangat
penting karena keduanya meletakkan fondasi pemikiran analitis
dalam mengelola operasi bisnis. Dari yang sebelumnya bersifat tradisional dan
intuitif, manajemen berubah menjadi ilmiah, terukur, dan sistematis.
·
Taylor menekankan pentingnya pengukuran
dan efisiensi gerakan, sehingga pekerjaan bisa dilakukan
dengan cara terbaik.
·
Ford membuktikan bahwa dengan membagi
proses ke dalam langkah-langkah kecil dan menstandarkan alur kerja,
organisasi dapat menghasilkan produk dalam jumlah besar dengan biaya rendah.
Kedua pendekatan ini menjadi pionir
lahirnya analisis proses bisnis modern, yaitu suatu disiplin
yang tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga pada bagaimana proses
berlangsung. Dari sinilah kemudian berkembang metodologi seperti Total
Quality Management (TQM), Lean Manufacturing, dan Six
Sigma yang lebih canggih di abad ke-20.
Pada akhirnya, transformasi yang dipelopori
oleh Taylor dan Ford menunjukkan bahwa efisiensi bukanlah hasil kebetulan,
melainkan buah dari analisis yang cermat terhadap proses
kerja. Melalui studi waktu dan gerak, pembagian kerja, serta jalur perakitan,
dunia industri belajar bahwa peningkatan produktivitas dan penurunan biaya
dapat dicapai dengan mengatur proses secara sistematis.
Warisan mereka masih relevan hingga
saat ini. Konsep-konsep yang mereka rintis terus digunakan, bahkan dikembangkan
lebih lanjut dengan dukungan teknologi modern seperti komputer, big data, dan
kecerdasan buatan. Dengan kata lain, perjalanan sejarah analisis proses bisnis
modern sesungguhnya dimulai dari pemikiran sederhana Taylor dan inovasi besar
Ford.
MUNCULNYA TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Pada pertengahan abad ke-20,
perhatian dunia bisnis mulai beralih dari sekadar efisiensi produksi ke aspek kualitas.
Jika pada era sebelumnya perusahaan hanya fokus pada bagaimana memproduksi
barang sebanyak mungkin dengan biaya serendah mungkin, maka sejak periode ini
muncul kesadaran bahwa produk yang murah sekalipun tidak akan bertahan lama di
pasar apabila kualitasnya rendah.
Kualitas di sini bukan hanya
dimaknai sebatas mutu fisik produk, tetapi juga menyangkut keandalan layanan,
konsistensi hasil, dan kepuasan pelanggan secara menyeluruh. Dengan kata lain,
kualitas menjadi strategi bisnis yang sangat penting untuk
mempertahankan keberlanjutan perusahaan di tengah kompetisi global.
Peran Jepang
sebagai Pelopor
Setelah Perang Dunia II, Jepang
mengalami kehancuran besar-besaran, baik dari sisi infrastruktur maupun
industri. Namun, kondisi ini justru memicu kebangkitan industri Jepang dengan
pendekatan manajemen yang baru. Negara tersebut bertekad membangun kembali
perekonomiannya melalui peningkatan kualitas produksi agar bisa bersaing dengan
negara-negara Barat.
Salah satu langkah penting yang
dilakukan Jepang adalah mengundang para ahli manajemen kualitas dari Amerika
Serikat, seperti W. Edwards Deming dan Joseph Juran,
untuk melatih para insinyur dan manajer lokal. Dari sinilah lahir pendekatan Total
Quality Management (TQM) yang menekankan keterlibatan semua pihak
dalam organisasi untuk meningkatkan kualitas secara berkelanjutan.
Kontribusi W.
Edwards Deming: Siklus PDCA
Deming dikenal luas sebagai salah
satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah manajemen kualitas. Ia
memperkenalkan konsep yang kemudian sangat terkenal, yaitu Siklus PDCA
(Plan-Do-Check-Act).
·
Plan (Perencanaan): perusahaan harus merencanakan perubahan atau perbaikan berdasarkan
data yang akurat. Misalnya, merencanakan cara baru untuk mengurangi tingkat
kerusakan produk.
·
Do (Pelaksanaan): rencana tersebut dijalankan dalam skala kecil terlebih dahulu untuk
diuji coba.
·
Check (Pemeriksaan): hasil dari pelaksanaan diperiksa dan dievaluasi, apakah sesuai dengan
target atau tidak.
·
Act (Tindakan): apabila hasilnya positif, maka perubahan tersebut dijadikan standar
baru. Jika belum memadai, dilakukan perbaikan dan pengulangan siklus.
Siklus ini bersifat berulang
(iteratif), artinya proses perbaikan tidak pernah berhenti. Konsep ini
kemudian menjadi dasar dari apa yang kini dikenal sebagai continuous
improvement atau perbaikan berkelanjutan.
Konsep Kaizen
dari Toyota
Selain Deming, Jepang juga
memperkenalkan konsep yang sangat terkenal, yakni Kaizen.
Istilah ini berasal dari bahasa Jepang yang berarti perubahan ke arah yang
lebih baik. Dalam praktik manajemen, Kaizen dimaknai sebagai perbaikan
kecil yang dilakukan secara terus-menerus oleh semua karyawan,
mulai dari level terendah hingga manajer puncak.
Kaizen tidak selalu berupa inovasi
besar yang mahal, tetapi lebih pada kebiasaan memperbaiki hal-hal kecil
sehari-hari yang dapat meningkatkan produktivitas. Misalnya, pekerja di pabrik
menemukan cara yang lebih efisien untuk menyusun peralatan kerja sehingga waktu
yang terbuang dapat dikurangi.
Di Toyota, setiap karyawan didorong
untuk aktif memberikan masukan perbaikan. Sistem Kotak Saran
(Suggestion Box) menjadi budaya yang memungkinkan ide-ide sederhana
berkembang menjadi perubahan besar yang meningkatkan kualitas dan mengurangi
pemborosan.
Contoh Nyata:
Keberhasilan Toyota
Salah satu contoh paling nyata dari
penerapan TQM dan Kaizen adalah keberhasilan Toyota Motor Corporation.
Pada dekade 1970–1980-an, Toyota berhasil menembus pasar Amerika Serikat yang
sebelumnya didominasi oleh perusahaan otomotif raksasa seperti Ford, General
Motors, dan Chrysler.
Kunci keberhasilan Toyota terletak
pada:
1.
Kualitas produk yang
konsisten: mobil Toyota dikenal jarang rusak dan
memiliki daya tahan tinggi.
2.
Harga yang kompetitif: efisiensi proses produksi melalui Kaizen memungkinkan Toyota menjual
mobil dengan harga yang relatif lebih murah.
3.
Kepuasan pelanggan: pelayanan purna jual Toyota yang baik menciptakan loyalitas pelanggan.
Hasilnya, Toyota tidak hanya mampu
bersaing, tetapi bahkan menjadi salah satu produsen mobil terbesar di dunia.
Kasus Toyota ini menjadi bukti kuat bahwa kualitas bukan sekadar atribut
teknis, melainkan strategi bisnis jangka panjang yang menentukan daya saing
perusahaan.
Implikasi TQM
dalam Bisnis Modern
Konsep TQM kemudian diadopsi secara
luas oleh berbagai sektor di luar industri otomotif, termasuk rumah sakit,
lembaga pendidikan, perbankan, hingga pemerintahan. Misalnya:
·
Di rumah sakit, TQM digunakan
untuk meningkatkan mutu pelayanan pasien dengan mengurangi waktu tunggu dan
meningkatkan keselamatan medis.
·
Di lembaga pendidikan, TQM
diterapkan untuk menjamin kualitas kurikulum, proses belajar, dan hasil
lulusan.
·
Di sektor jasa keuangan, TQM
membantu meningkatkan layanan nasabah melalui sistem pelayanan cepat, ramah,
dan minim kesalahan.
Dengan demikian, TQM tidak hanya
relevan untuk sektor manufaktur, tetapi juga untuk semua organisasi yang ingin
mencapai efisiensi, efektivitas, dan kepuasan pelanggan secara
berkelanjutan.
Munculnya TQM menandai babak baru
dalam sejarah analisis proses bisnis. Jika pada masa Taylor dan Ford fokus
utamanya adalah efisiensi, maka pada era TQM fokus tersebut
beralih pada kualitas yang melibatkan seluruh lapisan
organisasi.
Pendekatan ini membuktikan bahwa
kualitas bukan hanya tanggung jawab departemen tertentu, melainkan budaya yang
harus ditanamkan dalam seluruh aspek organisasi. Melalui TQM, banyak perusahaan
berhasil mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang, dengan Toyota sebagai
salah satu contoh paling ikonik.
ERA LEAN MANUFACTURING DAN SIX SIGMA
Pada akhir abad ke-20,
dunia bisnis dihadapkan pada tuntutan global yang semakin kompetitif.
Perusahaan tidak lagi hanya dituntut untuk menghasilkan produk dalam jumlah
besar, tetapi juga harus mampu menghasilkan produk yang berkualitas
tinggi, dengan biaya rendah, waktu produksi singkat, serta kesalahan seminimal
mungkin. Kondisi inilah yang melahirkan dua pendekatan penting yang
hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam analisis dan peningkatan proses
bisnis, yaitu Lean Manufacturing dan Six Sigma.
1. Lean
Manufacturing
Lean Manufacturing adalah suatu
filosofi manajemen produksi yang berfokus pada upaya menghilangkan
pemborosan (waste) dalam setiap tahap proses bisnis. Pemborosan yang
dimaksud bukan hanya terkait dengan penggunaan bahan baku, melainkan juga
menyangkut waktu, tenaga, dan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah bagi
pelanggan.
Konsep Lean pertama kali
dikembangkan oleh Toyota melalui sistem produksi yang dikenal
dengan nama Toyota Production System (TPS). Toyota menyadari
bahwa efisiensi tidak cukup hanya diukur dari seberapa banyak barang yang
diproduksi, tetapi juga dari bagaimana perusahaan mampu memproduksi barang
sesuai permintaan pelanggan (just in time), dengan mutu terjaga, dan
tanpa membebani gudang dengan persediaan berlebih.
Dalam Lean, dikenal tujuh jenis
pemborosan (seven wastes), yaitu:
1.
Overproduction: memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan.
2.
Waiting: waktu menunggu yang tidak produktif.
3.
Transportation: perpindahan material yang berlebihan.
4.
Overprocessing: proses kerja yang terlalu rumit atau tidak perlu.
5.
Inventory: persediaan barang yang menumpuk tanpa segera digunakan.
6.
Motion: gerakan pekerja atau mesin yang tidak efisien.
7.
Defects: produk cacat yang menimbulkan biaya tambahan untuk perbaikan.
Salah satu contoh nyata penerapan
Lean adalah penggunaan Kanban di Toyota. Kanban merupakan
sistem penjadwalan visual berupa kartu yang mengatur kapan suatu proses
produksi harus dilakukan. Dengan sistem ini, produksi hanya dilakukan ketika
ada permintaan nyata dari pelanggan atau dari proses berikutnya, sehingga
perusahaan dapat menghindari penumpukan persediaan yang tidak
perlu.
Implementasi Lean Manufacturing
terbukti membantu Toyota dan perusahaan-perusahaan lain untuk tetap kompetitif
di pasar global dengan biaya produksi rendah, kualitas terjaga, dan kecepatan
respon terhadap perubahan permintaan pasar yang lebih baik.
2. Six Sigma
Sementara itu, Six Sigma
muncul pada tahun 1980-an dan pertama kali diperkenalkan oleh Motorola.
Jika Lean lebih berfokus pada eliminasi pemborosan, maka Six Sigma berfokus
pada pengendalian kualitas berbasis data untuk meminimalisir
cacat atau kesalahan dalam proses produksi maupun pelayanan.
Tujuan Six Sigma adalah agar proses
bisnis mampu menghasilkan produk dengan tingkat cacat yang sangat
rendah—hanya 3,4 cacat per satu juta kesempatan (defects per
million opportunities). Dengan standar ini, perusahaan dapat menjamin
kualitas produk yang sangat konsisten.
Metodologi utama Six Sigma adalah DMAIC,
yaitu:
1.
Define – mendefinisikan masalah, kebutuhan pelanggan, dan tujuan proyek.
2.
Measure – mengukur kinerja proses saat ini dengan data yang akurat.
3.
Analyze – menganalisis penyebab utama terjadinya masalah atau cacat.
4.
Improve – merancang dan menerapkan solusi untuk perbaikan.
5.
Control – mengendalikan proses agar tetap stabil dan terjaga setelah perbaikan
dilakukan.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan
elektronik menggunakan Six Sigma untuk mengurangi tingkat kerusakan produk
televisi yang mereka produksi. Dengan menganalisis data dari jalur produksi,
mereka menemukan bahwa sebagian besar cacat disebabkan oleh kesalahan pada
tahap penyolderan komponen. Setelah perbaikan proses dilakukan (misalnya dengan
mengubah suhu mesin solder dan memberikan pelatihan tambahan kepada operator),
tingkat kerusakan produk menurun drastis.
Pendekatan Six Sigma ini tidak
hanya digunakan di bidang manufaktur, tetapi juga di sektor jasa. Misalnya,
perusahaan maskapai penerbangan menggunakan Six Sigma untuk mengurangi
keterlambatan penerbangan, sementara rumah sakit menerapkannya untuk
meminimalisir kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien.
3. Sinergi Lean
dan Six Sigma
Meskipun Lean dan Six Sigma
memiliki fokus yang berbeda—Lean pada efisiensi dan eliminasi
pemborosan, sedangkan Six Sigma pada kualitas dan pengurangan
variasi—keduanya saling melengkapi.
Banyak perusahaan modern yang
menggabungkan kedua pendekatan ini dalam konsep Lean Six Sigma,
yang bertujuan untuk:
·
Meningkatkan kecepatan dan
efisiensi proses (prinsip Lean).
·
Menjamin kualitas yang tinggi dan konsisten
(prinsip Six Sigma).
Contoh nyata adalah General
Electric (GE) yang berhasil menghemat miliaran dolar dengan menerapkan
Lean Six Sigma dalam operasionalnya. Dengan kombinasi ini, GE mampu mempercepat
proses layanan pelanggan sekaligus mengurangi kesalahan administrasi yang
sebelumnya sering terjadi.
Era Lean Manufacturing dan Six
Sigma menandai babak baru dalam evolusi analisis proses bisnis. Kedua
pendekatan ini bukan hanya sekadar metode teknis, tetapi juga filosofi
manajemen yang mengubah cara perusahaan melihat dan mengelola proses kerja.
·
Lean mengajarkan pentingnya membuang
hal yang tidak bernilai tambah dan hanya fokus pada apa yang
benar-benar dibutuhkan pelanggan.
·
Six Sigma menekankan perlunya akurasi,
konsistensi, dan pengendalian berbasis data agar kualitas terjamin.
Dengan penerapan keduanya,
organisasi dapat mencapai efisiensi tinggi sekaligus mutu yang unggul, sehingga
memperkuat posisi analisis proses bisnis sebagai alat strategis dalam
meningkatkan daya saing di pasar global.
PERAN TEKNOLOGI INFORMASI
Memasuki era digital, teknologi
informasi telah menjadi katalis utama yang mendorong transformasi
besar dalam cara organisasi merancang, mengelola, dan menganalisis proses
bisnis. Jika pada masa lalu analisis proses lebih banyak dilakukan secara
manual melalui observasi dan pencatatan, kini teknologi memungkinkan organisasi
untuk melakukan pemantauan real-time, pemodelan yang lebih akurat, serta
pengambilan keputusan yang berbasis data.
1. Enterprise
Resource Planning (ERP)
Enterprise Resource
Planning (ERP) adalah sebuah sistem terintegrasi
yang menggabungkan berbagai fungsi organisasi ke dalam satu platform terpadu.
Modul-modul dalam ERP biasanya mencakup keuangan, produksi, logistik, sumber
daya manusia, hingga pemasaran. Dengan ERP, aliran informasi dalam organisasi
tidak lagi terpecah-pecah di berbagai departemen, melainkan terkonsolidasi
sehingga manajemen dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat dan akurat.
·
Contoh Kasus: Sebuah perusahaan ritel besar seperti Indomaret atau Alfamart
menggunakan ERP untuk memantau ketersediaan barang di ribuan cabang yang
tersebar di seluruh Indonesia. Jika stok suatu produk, misalnya air mineral,
menipis di salah satu gerai, sistem ERP akan secara otomatis memberi sinyal ke
pusat distribusi untuk segera melakukan pengiriman. Dengan demikian, perusahaan
dapat meminimalkan kekosongan stok (stockout) dan pada saat yang sama
menghindari penumpukan barang yang tidak perlu (overstock).
·
Implikasi bagi Analisis
Proses: ERP membantu organisasi dalam melakukan
analisis mendalam mengenai efisiensi rantai pasok, pola pembelian pelanggan,
hingga biaya logistik. Semua ini mendukung optimalisasi proses bisnis secara
menyeluruh.
2. Big Data dan
Analytics
Dalam era digital, perusahaan
dibanjiri oleh data dalam jumlah besar yang berasal dari
berbagai sumber: transaksi harian, interaksi pelanggan di media sosial, sensor
IoT (Internet of Things), hingga catatan internal organisasi. Data tersebut,
jika dianalisis dengan tepat, dapat menjadi aset berharga bagi pengambilan
keputusan strategis.
·
Prediksi Tren Pasar: Dengan analisis data besar (big data analytics), perusahaan
dapat mengantisipasi perubahan perilaku konsumen. Misalnya, platform e-commerce
seperti Tokopedia atau Shopee menggunakan algoritma analitik untuk merekomendasikan
produk yang paling relevan bagi pengguna berdasarkan histori belanja dan
pencarian mereka.
·
Analisis Kepuasan
Pelanggan: Perusahaan dapat menganalisis ulasan
pelanggan di media sosial untuk memahami tingkat kepuasan atau keluhan yang
sering muncul. Dengan demikian, perbaikan layanan dapat segera dilakukan.
·
Deteksi Anomali dalam
Rantai Pasokan: Big data juga digunakan untuk
mengidentifikasi pola yang tidak biasa, misalnya keterlambatan pengiriman dari
pemasok tertentu. Dengan mendeteksi anomali sejak dini, perusahaan dapat
mencegah gangguan besar dalam rantai pasok.
3. Artificial
Intelligence (AI) dan Robotic Process Automation (RPA)
Selain ERP dan big data, teknologi
yang kini banyak digunakan adalah Artificial Intelligence (AI)
dan Robotic Process Automation (RPA). Keduanya berfungsi untuk
mengotomatisasi tugas-tugas rutin yang sebelumnya dilakukan oleh manusia,
sekaligus memperkaya proses analisis dengan kecerdasan buatan.
·
AI dalam Analisis Proses: AI mampu memproses data dalam jumlah besar secara cepat, menemukan
pola yang tidak terlihat oleh manusia, serta memberikan rekomendasi strategis.
Misalnya, AI digunakan dalam sistem keuangan untuk mendeteksi potensi
kecurangan (fraud detection) dengan menganalisis pola transaksi yang
mencurigakan.
·
RPA dalam Otomatisasi: RPA adalah teknologi yang memungkinkan “robot perangkat lunak”
menjalankan tugas-tugas administratif yang berulang, seperti entri data,
pengolahan faktur, atau validasi dokumen.
·
Contoh Nyata:
o Di sektor perbankan, chatbot berbasis AI kini banyak digunakan untuk
melayani nasabah secara otomatis 24 jam sehari. Seorang nasabah yang ingin
mengecek saldo atau melakukan transaksi sederhana tidak perlu menunggu antrian
panjang di teller, cukup berinteraksi dengan chatbot di aplikasi mobile banking.
o Dalam perusahaan telekomunikasi, RPA digunakan untuk memproses ribuan
permintaan aktivasi kartu prabayar setiap hari tanpa campur tangan manual. Hal
ini mempercepat layanan sekaligus menurunkan biaya operasional.
Dampak Strategis
bagi Organisasi
Integrasi teknologi digital dalam
analisis proses bisnis membawa sejumlah dampak strategis, antara lain:
1.
Efisiensi Operasional: Tugas-tugas rutin dapat diotomatisasi sehingga karyawan dapat fokus
pada pekerjaan yang lebih bernilai tambah.
2.
Pengambilan Keputusan
Berbasis Data: Dengan data real-time, manajemen
dapat membuat keputusan yang lebih cepat, akurat, dan adaptif terhadap
perubahan lingkungan bisnis.
3.
Peningkatan Kepuasan
Pelanggan: Pelanggan merasakan layanan yang lebih
cepat, responsif, dan personal, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas.
4.
Daya Saing Global: Perusahaan yang mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam analisis
proses bisnis akan lebih unggul dibanding pesaing yang masih mengandalkan cara
tradisional.
TRANSFORMASI DIGITAL DAN TANTANGAN GLOBAL
1.
Transformasi Digital dalam Analisis Proses Bisnis
Transformasi digital dapat dipahami
sebagai upaya organisasi untuk mengintegrasikan teknologi digital ke dalam
seluruh aspek bisnis, sehingga mengubah cara mereka beroperasi dan memberikan
nilai kepada pelanggan. Transformasi ini bukan hanya soal penggunaan perangkat
lunak atau adopsi teknologi baru, melainkan mencakup perubahan budaya,
strategi, dan model bisnis secara menyeluruh.
Dalam konteks analisis proses
bisnis, transformasi digital memungkinkan organisasi untuk melakukan pemetaan,
pengawasan, dan perbaikan proses secara lebih cepat, presisi, dan adaptif.
Proses yang sebelumnya memerlukan waktu berminggu-minggu kini dapat dianalisis
dalam hitungan jam, bahkan menit, berkat dukungan teknologi seperti Big
Data Analytics, Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan
Robotic Process Automation (RPA).
Contoh nyata:
·
Perbankan digital: Bank tidak lagi hanya mengandalkan cabang fisik, tetapi menggunakan
aplikasi mobile banking yang memungkinkan analisis transaksi nasabah secara
real-time. Data ini kemudian dipakai untuk mendeteksi kecurangan (fraud
detection) atau menawarkan produk sesuai kebutuhan pelanggan.
·
Rantai pasokan global
(supply chain): Perusahaan seperti Amazon
menggunakan algoritma AI untuk memprediksi pola belanja konsumen,
mengoptimalkan stok gudang, dan mempercepat distribusi barang. Semua ini
merupakan bentuk transformasi digital yang berakar dari analisis proses bisnis
yang mendalam.
2.
Globalisasi sebagai Faktor Pendorong
Globalisasi membuat batas
antarnegara semakin kabur dalam dunia bisnis. Produk yang dirancang di Amerika
Serikat bisa diproduksi di Tiongkok, dipasarkan di Eropa, dan dijual secara
online di seluruh dunia. Kondisi ini menuntut organisasi untuk mampu menyesuaikan
proses bisnisnya dengan berbagai standar, regulasi, dan preferensi konsumen
lintas negara.
Contoh:
·
Industri otomotif: produsen mobil harus menyesuaikan standar emisi gas buang di Uni
Eropa yang ketat, sementara di negara berkembang fokus lebih kepada efisiensi
bahan bakar. Ini berarti satu perusahaan harus merancang proses produksi yang
fleksibel sesuai dengan regulasi global yang beragam.
·
Industri makanan dan
minuman: perusahaan multinasional seperti Nestlé
harus menyesuaikan komposisi produk dan label sesuai standar keamanan pangan di
setiap negara, misalnya mencantumkan kandungan gizi dan informasi alergi sesuai
ketentuan lokal.
Globalisasi pada akhirnya menuntut
analisis proses bisnis tidak hanya berorientasi internal, tetapi juga
eksternal, agar organisasi dapat bersaing secara global.
3.
Perubahan Regulasi dan Dampaknya terhadap Proses Bisnis
Di era digital, regulasi pemerintah
di berbagai negara semakin ketat, khususnya terkait perlindungan data dan
keamanan informasi. Regulasi semacam ini berimplikasi langsung terhadap desain
dan pelaksanaan proses bisnis.
Salah satu regulasi penting adalah General
Data Protection Regulation (GDPR) yang diberlakukan di Uni Eropa sejak
2018. GDPR mengatur bagaimana perusahaan mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan
data pribadi konsumen. Bagi perusahaan yang beroperasi lintas negara, regulasi
ini memaksa mereka untuk menyesuaikan sistem IT dan alur bisnis agar sesuai
dengan aturan tersebut.
Contoh:
·
Perusahaan e-commerce yang menjual
produk ke Eropa wajib menyediakan mekanisme agar konsumen dapat meminta
penghapusan data pribadi mereka (“right to be forgotten”).
·
Penyedia layanan digital seperti
Google atau Facebook harus mengatur ulang proses internal mereka agar sesuai
dengan prinsip transparansi dan keamanan data.
Kepatuhan terhadap regulasi ini
tidak hanya menghindarkan perusahaan dari sanksi hukum, tetapi juga
meningkatkan kepercayaan pelanggan.
4.
Tantangan Etika dalam Pemanfaatan Teknologi
Selain globalisasi dan regulasi,
tantangan besar lain adalah persoalan etika. Dengan semakin
banyaknya data yang dikumpulkan dan dianalisis, muncul pertanyaan: sejauh mana
data pribadi konsumen boleh digunakan oleh perusahaan?
Penggunaan AI, misalnya, sering
menimbulkan isu transparansi. Banyak konsumen tidak memahami bagaimana
algoritma membuat keputusan, seperti mengapa sebuah iklan muncul di layar
mereka atau mengapa pinjaman kredit mereka ditolak. Jika tidak dikelola dengan
baik, hal ini dapat merusak kepercayaan publik.
Contoh kasus:
·
Sistem rekrutmen berbasis AI yang digunakan
Amazon pernah dikritik karena bias gender, di mana algoritma cenderung lebih
menyukai kandidat laki-laki. Ini menunjukkan bahwa analisis proses bisnis
berbasis AI tetap membutuhkan pengawasan etis.
·
Aplikasi kesehatan digital yang
mengumpulkan data pasien menimbulkan kekhawatiran tentang kebocoran data
sensitif. Jika data ini jatuh ke tangan pihak yang salah, konsekuensinya bisa
sangat serius bagi privasi individu.
Oleh karena itu, etika
digital—mulai dari privasi, keamanan, hingga keadilan algoritmik—harus menjadi
bagian integral dari analisis proses bisnis modern.
5.
Pentingnya Adaptasi Organisasi
Dalam lingkungan bisnis global yang
penuh ketidakpastian, organisasi dituntut untuk selalu adaptif.
Perusahaan yang mampu merespons cepat terhadap perubahan teknologi, regulasi,
maupun preferensi konsumen akan tetap relevan. Sebaliknya, organisasi yang
lambat beradaptasi berisiko tertinggal atau bahkan hilang dari persaingan.
Contoh perbandingan:
·
Netflix vs Blockbuster: Netflix berhasil bertransformasi dari layanan penyewaan DVD menjadi
platform streaming global, sementara Blockbuster gagal beradaptasi dan akhirnya
bangkrut.
·
Gojek di Indonesia: berawal dari layanan transportasi berbasis aplikasi, Gojek berhasil
memperluas proses bisnisnya ke layanan pembayaran digital, pesan antar makanan,
hingga jasa keuangan.
Adaptasi yang cepat dan berbasis
analisis proses bisnis yang kuat terbukti menjadi faktor penentu
keberlangsungan sebuah organisasi di era transformasi digital dan globalisasi.
Transformasi digital dan tantangan
global mengubah wajah analisis proses bisnis dari sekadar upaya meningkatkan
efisiensi internal menjadi instrumen strategis yang menentukan keberlangsungan
organisasi. Globalisasi menuntut fleksibilitas lintas negara, regulasi menuntut
kepatuhan yang ketat, dan teknologi digital menghadirkan peluang sekaligus
tantangan etis.
Organisasi yang mampu
mengintegrasikan teknologi dengan bijak, mematuhi regulasi, serta mengutamakan
etika dalam analisis proses bisnis akan memiliki keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Sebaliknya, organisasi yang gagal beradaptasi berisiko
ditinggalkan oleh pasar. Dengan demikian, analisis proses bisnis di era
transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis.
Kesimpulan
Sejarah
analisis proses bisnis menunjukkan bahwa ia bukan sekadar alat teknis,
melainkan kerangka berpikir strategis yang terus berevolusi. Dari manajemen
ilmiah Taylor hingga era digital berbasis AI, analisis proses bisnis selalu
menjadi kunci keberhasilan organisasi dalam menghadapi tantangan zaman.
Bagi
organisasi modern, analisis proses bisnis tidak hanya membantu meningkatkan
efisiensi, tetapi juga berperan sebagai fondasi transformasi digital dan
inovasi. Dengan memadukan prinsip manajemen klasik, metodologi kualitas, dan
teknologi mutakhir, analisis proses bisnis akan terus relevan sebagai penuntun
organisasi menuju keunggulan kompetitif di masa depan.
Daftar
Pustaka
·
Harmon, P. (2020). Business
Process Change: A Business Process Management Guide for Managers and Process
Professionals. 4th Edition. Morgan Kaufmann.
·
Dumas, M., La Rosa, M., Mendling,
J., & Reijers, H. A. (2018). Fundamentals of Business Process
Management. Springer.
·
vom Brocke, J., & Rosemann, M.
(Eds.). (2021). Handbook on Business Process Management. Springer.
·
Weske, M. (2019). Business
Process Management: Concepts, Languages, Architectures. Springer.
·
Modul Analisis Proses Bisnis.
(2023). Tim Pengajar Universitas.
·
Hammer, M., & Champy, J.
(2001). Reengineering the Corporation: A Manifesto for Business Revolution.
Harper Business.
·
Porter, M. E. (1985). Competitive
Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press.
·
Rummler, G. A., & Brache, A.
P. (2012). Improving Performance: How to Manage the White Space on the
Organization Chart. Jossey-Bass.
·
ISO 9001:2015. Quality
management systems — Requirements.
·
Wibowo, A. (2020). Manajemen
Proses Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.
VERSI PDF.

0 Response to "BAB 1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ANALISIS PROSES BISNIS"
Posting Komentar