BAB. 7 PERBAIKAN PROSES BISNIS (BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT / BPI)
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi dan digitalisasi saat ini, dunia bisnis menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Persaingan tidak hanya terjadi antar perusahaan lokal, tetapi juga bersifat global, di mana setiap organisasi dituntut untuk lebih cepat, efisien, dan mampu memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk tidak lagi terpaku pada cara kerja lama yang mungkin sudah tidak relevan, melainkan harus berani melakukan perubahan dan perbaikan berkelanjutan.
Salah satu pendekatan yang penting
dalam menghadapi tantangan tersebut adalah Business Process Improvement
(BPI) atau Perbaikan Proses Bisnis. BPI merupakan strategi manajemen
yang berfokus pada upaya memperbaiki cara kerja organisasi secara sistematis,
terencana, dan berkesinambungan, dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi,
efektivitas, kualitas, fleksibilitas, serta kepuasan pelanggan.
Penerapan BPI tidak hanya relevan
untuk perusahaan besar, tetapi juga sangat penting bagi usaha kecil, lembaga
publik, rumah sakit, institusi pendidikan, hingga organisasi non-profit. Dengan
BPI, sebuah organisasi dapat menemukan cara baru yang lebih baik dalam
menjalankan proses, mengurangi pemborosan, mempercepat pelayanan, serta
memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi stakeholder.
Sebagai contoh, sebuah bank yang
dahulu memerlukan waktu dua hari untuk membuka rekening, kini dapat
menyelesaikannya dalam hitungan menit melalui layanan digital. Begitu pula
dalam sektor kesehatan, rumah sakit dapat memangkas waktu tunggu pasien dengan
sistem pendaftaran online. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa BPI adalah
kebutuhan mendesak di era modern agar organisasi tidak tertinggal dan tetap
kompetitif.
Oleh karena itu, pemahaman tentang
BPI sangat penting, khususnya bagi mahasiswa manajemen, agar mereka mampu
melihat bahwa setiap proses dalam organisasi selalu bisa diperbaiki. Lebih dari
itu, BPI juga menekankan bahwa perubahan bukanlah ancaman, melainkan peluang
untuk tumbuh, beradaptasi, dan unggul di tengah dinamika dunia bisnis.
DEFINISI BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT (BPI)
Setiap organisasi,
baik perusahaan besar, usaha kecil, lembaga pemerintah, hingga rumah sakit,
memiliki satu kesamaan: mereka semua menjalankan proses bisnis.
Proses ini mencakup serangkaian langkah yang dilakukan secara berulang untuk
menghasilkan produk atau layanan bagi pelanggan. Namun, dalam praktiknya, tidak
semua proses berjalan efisien. Ada yang terlalu lama, boros biaya, atau
menghasilkan kualitas yang tidak konsisten.
Untuk mengatasi
hal tersebut, organisasi perlu melakukan Business Process Improvement
(BPI) atau Perbaikan Proses Bisnis, yaitu upaya
memperbaiki cara kerja agar lebih efektif, efisien, dan bernilai bagi
pelanggan.
Definisi Menurut Para Ahli
Beberapa pakar
manajemen memberikan definisi yang memperkaya pemahaman kita tentang BPI:
1. Harrington (1991): BPI adalah “pendekatan sistematis untuk membantu organisasi
mencapai tujuan lebih efektif dengan mengidentifikasi, menganalisis, dan
memperbaiki proses bisnis yang ada.” → Artinya, BPI bukan tindakan acak,
melainkan suatu metode yang terstruktur, dimulai dari pemetaan proses, analisis
masalah, hingga implementasi perbaikan.
2. Davenport (1993): BPI adalah “usaha terstruktur untuk mengubah proses bisnis dengan
tujuan meningkatkan kinerja organisasi.” → Definisi ini menekankan bahwa
BPI bukan sekadar memperbaiki “yang rusak”, melainkan mengubah cara kerja agar
kinerja organisasi meningkat secara signifikan.
3. Hammer & Champy (1993): Menurut mereka, BPI adalah fokus pada “perbaikan
berkesinambungan agar proses dapat berjalan lebih efisien dan memberikan nilai
tambah bagi pelanggan.” → Penekanan di sini adalah nilai tambah
bagi pelanggan. Tidak ada gunanya memperbaiki proses internal jika
pelanggan tidak merasakan manfaatnya.
Analisis Definisi
Jika kita
bandingkan ketiga definisi di atas, ada beberapa poin kunci yang muncul:
·
Sistematis
dan Terstruktur: BPI bukan
kegiatan spontan, tetapi dilakukan dengan metode yang jelas.
·
Perubahan
dan Perbaikan: BPI tidak hanya
mengatasi masalah, tetapi juga mengubah proses agar lebih adaptif dan unggul.
·
Nilai
bagi Pelanggan: Tujuan akhir
dari BPI adalah memberikan kepuasan yang lebih besar kepada pelanggan.
·
Keunggulan
Kompetitif: Dengan proses yang
lebih baik, organisasi mampu bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Berdasarkan
berbagai pandangan, dapat disimpulkan bahwa:
Business Process Improvement (BPI)
adalah suatu kegiatan terencana untuk memperbaiki alur kerja (workflow),
mengurangi pemborosan, mempercepat proses, serta meningkatkan kualitas hasil,
dengan tujuan utama meningkatkan kepuasan pelanggan dan daya saing organisasi.
Contoh Penerapan Definisi dalam Kehidupan Nyata
Agar definisi BPI
lebih mudah dipahami, berikut contoh-contoh nyata:
1. Perusahaan Perbankan
o Dahulu, pembukaan rekening baru memakan waktu 2–3 hari
karena harus melalui banyak verifikasi manual.
o Setelah dilakukan BPI dengan digitalisasi proses,
waktu pembukaan rekening hanya butuh 30 menit.
o Ini menunjukkan bagaimana BPI membuat proses lebih
efisien dan meningkatkan pengalaman pelanggan.
2. E-commerce (Tokopedia, Shopee, Lazada)
o Proses pengembalian barang (return) dulu sangat rumit:
pelanggan harus mengisi formulir, menunggu verifikasi lama, dan biaya kirim
tidak jelas.
o Setelah dilakukan BPI, sistem return menjadi otomatis
melalui aplikasi, pelanggan hanya perlu klik beberapa tombol.
o Perubahan ini meningkatkan kepuasan pelanggan
sekaligus daya saing marketplace tersebut.
3. Rumah Sakit
o Proses pendaftaran pasien rawat jalan biasanya antri
panjang hingga berjam-jam.
o Dengan BPI, rumah sakit memperkenalkan pendaftaran
online dan sistem antrian digital.
o Hasilnya: waktu tunggu pasien berkurang drastis,
sehingga kualitas layanan meningkat.
Pentingnya Memahami Definisi BPI bagi Mahasiswa
Bagi mahasiswa
manajemen, memahami definisi BPI penting karena:
·
Menunjukkan
bagaimana teori manajemen dapat diterapkan secara praktis.
·
Membuka wawasan
bahwa setiap organisasi selalu bisa diperbaiki, tidak ada proses yang sempurna.
·
Memberikan
keterampilan analitis untuk menilai apakah suatu proses sudah efisien atau
masih perlu perbaikan.
·
Menjadi bekal
ketika bekerja di perusahaan, karena hampir semua perusahaan modern menerapkan
inisiatif perbaikan proses.
Dari uraian di
atas, dapat ditegaskan bahwa Business Process Improvement (BPI)
bukan hanya sekadar istilah manajemen, tetapi sebuah strategi nyata yang sangat
dibutuhkan dalam dunia bisnis modern. Definisi para ahli menekankan bahwa BPI
adalah usaha terstruktur, sistematis, dan berorientasi pada pelanggan. Dengan
BPI, organisasi tidak hanya memperbaiki kinerja internal, tetapi juga
menciptakan nilai tambah yang nyata bagi pelanggan dan pemangku kepentingan
lainnya.
TUJUAN BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT (BPI)
Business Process Improvement (BPI)
atau perbaikan proses bisnis merupakan salah satu strategi yang digunakan
organisasi untuk meningkatkan kinerja secara menyeluruh. Tujuan utama dari BPI
tidak hanya sekadar memperbaiki bagian tertentu dari alur kerja, tetapi juga
memastikan bahwa seluruh sistem bisnis dapat berjalan lebih efisien, efektif,
berkualitas, fleksibel, dan mampu memberikan nilai lebih bagi pelanggan. Pada
akhirnya, perbaikan proses ini berkontribusi pada peningkatan daya saing
organisasi di tengah lingkungan bisnis yang dinamis.
Secara umum, ada enam tujuan utama
dari penerapan BPI. Berikut penjelasan yang lebih mendalam beserta contoh-contohnya:
1.
Meningkatkan Efisiensi
Efisiensi berarti bagaimana
organisasi dapat melakukan lebih banyak hal dengan sumber daya yang sama, atau
bahkan dengan sumber daya yang lebih sedikit. Dalam konteks BPI, meningkatkan
efisiensi berarti mengurangi pemborosan waktu, biaya, dan tenaga kerja dalam
suatu proses.
Misalnya, sebuah perusahaan
manufaktur yang masih menggunakan pencatatan manual dalam pengelolaan stok
barang akan menghadapi risiko keterlambatan informasi, kesalahan input, serta
pemborosan waktu. Dengan melakukan BPI melalui penerapan sistem Enterprise
Resource Planning (ERP), proses pencatatan dan pelacakan barang bisa
dilakukan secara otomatis dan real-time. Hasilnya, tenaga kerja yang sebelumnya
menghabiskan banyak waktu untuk administrasi bisa dialihkan ke kegiatan yang
lebih produktif.
Efisiensi ini penting karena semakin
sedikit pemborosan, semakin besar potensi keuntungan yang bisa dicapai
perusahaan.
2.
Meningkatkan Efektivitas
Efektivitas berbeda dengan
efisiensi. Efisiensi berbicara tentang "cara kerja", sedangkan
efektivitas menekankan pada "hasil kerja". Tujuan BPI adalah
memastikan bahwa setiap output yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pelanggan.
Sebagai contoh, sebuah rumah sakit
mungkin mampu melayani banyak pasien dalam sehari (efisien), tetapi jika pasien
merasa bahwa diagnosis tidak akurat atau layanan dokter tidak memuaskan, maka
rumah sakit tersebut tidak efektif. Melalui BPI, rumah sakit dapat memperbaiki
prosedur pemeriksaan dengan menambah sistem pendukung keputusan berbasis
teknologi (misalnya integrasi rekam medis digital dengan alat diagnostik),
sehingga hasil layanan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan pasien.
Dengan kata lain, efektivitas dalam
BPI adalah memastikan hasil akhir benar-benar bermanfaat dan bernilai bagi
pelanggan.
3.
Meningkatkan Kualitas
Tujuan BPI berikutnya adalah
meningkatkan kualitas, baik dalam bentuk produk maupun layanan. Kualitas tidak
hanya berarti bebas dari cacat (zero defect), tetapi juga mencakup konsistensi
hasil serta kemampuan produk/layanan untuk memenuhi standar tertentu.
Sebagai ilustrasi, perusahaan jasa
kurir yang sering terlambat mengirimkan paket akan dianggap memiliki kualitas
layanan yang buruk. Dengan menerapkan BPI, perusahaan dapat memperbaiki rute
distribusi menggunakan sistem tracking berbasis GPS dan algoritma
optimasi rute. Hal ini memungkinkan paket tiba tepat waktu dan mengurangi
jumlah keluhan pelanggan.
Kualitas yang baik akan meningkatkan
citra perusahaan, menumbuhkan kepercayaan pelanggan, dan memperbesar peluang
loyalitas jangka panjang.
4.
Meningkatkan Fleksibilitas
Dunia bisnis modern bersifat
dinamis: teknologi cepat berubah, preferensi konsumen bergeser, dan pesaing
baru terus bermunculan. Oleh karena itu, organisasi harus fleksibel dalam
menyesuaikan diri. BPI membantu menciptakan proses bisnis yang lebih luwes
sehingga perusahaan bisa lebih cepat merespons perubahan.
Contohnya, di era digital, banyak
perusahaan ritel tradisional yang mengalami penurunan omzet karena pola belanja
konsumen bergeser ke platform online. Melalui BPI, perusahaan ritel dapat
menambahkan kanal e-commerce sebagai bagian dari strategi multichannel.
Proses bisnis yang dulunya hanya berfokus pada toko fisik kini disesuaikan
dengan integrasi digital, sehingga perusahaan tetap bisa bersaing di pasar yang
berubah.
Fleksibilitas ini membuat organisasi
tidak kaku, melainkan adaptif terhadap tantangan dan peluang baru.
5.
Meningkatkan Kepuasan Pelanggan
Pelanggan adalah pusat dari setiap
bisnis. Tidak peduli seberapa efisien atau efektif proses internal, jika
pelanggan merasa tidak puas, maka tujuan bisnis tidak akan tercapai. Salah satu
tujuan utama BPI adalah memastikan bahwa setiap perbaikan berorientasi pada
peningkatan pengalaman pelanggan.
Sebagai contoh, perusahaan telekomunikasi
yang dulunya memproses permintaan aktivasi kartu SIM dalam waktu 24 jam,
melakukan BPI dengan mengotomatisasi sistem aktivasi melalui aplikasi digital.
Hasilnya, pelanggan bisa mengaktifkan kartu hanya dalam hitungan menit. Layanan
yang cepat, mudah, dan nyaman ini tentu akan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Kepuasan pelanggan yang tinggi akan
menciptakan loyalitas, rekomendasi positif, dan pada akhirnya memperkuat posisi
perusahaan di pasar.
6.
Meningkatkan Daya Saing
Tujuan akhir dari seluruh upaya BPI
adalah meningkatkan daya saing organisasi. Daya saing berarti kemampuan
perusahaan untuk unggul dibandingkan para pesaing dalam memberikan nilai kepada
pelanggan.
Misalnya, perusahaan transportasi
daring seperti Gojek dan Grab berhasil mengubah cara masyarakat
Indonesia bepergian. Mereka menerapkan BPI dengan mengintegrasikan teknologi
aplikasi mobile, sistem pembayaran digital, serta fitur layanan tambahan
(seperti pesan antar makanan, belanja, hingga pengiriman barang). Perbaikan
berkelanjutan ini membuat mereka tidak hanya bersaing dengan transportasi
konvensional, tetapi juga menciptakan standar baru dalam industri.
Dengan daya saing yang kuat,
perusahaan bukan hanya bertahan, tetapi juga bisa tumbuh dan mendominasi pasar.
Secara keseluruhan, tujuan Business
Process Improvement (BPI) mencakup peningkatan efisiensi, efektivitas,
kualitas, fleksibilitas, kepuasan pelanggan, hingga daya saing organisasi.
Semua tujuan ini saling terkait: efisiensi mengurangi pemborosan, efektivitas
memastikan hasil sesuai tujuan, kualitas meningkatkan standar layanan,
fleksibilitas memungkinkan adaptasi, kepuasan pelanggan memperkuat loyalitas,
dan pada akhirnya semua itu bermuara pada peningkatan daya saing.
Dengan kata lain, BPI adalah
investasi jangka panjang yang harus dilakukan setiap organisasi agar tetap
relevan, unggul, dan berkelanjutan di tengah lingkungan bisnis yang terus
berubah.
PRINSIP-PRINSIP BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT (BPI)
Perbaikan proses
bisnis atau Business Process Improvement (BPI) merupakan salah
satu pendekatan strategis yang digunakan organisasi untuk memastikan kegiatan
operasional berjalan lebih efektif, efisien, dan mampu memberikan nilai tambah
yang maksimal bagi pelanggan maupun stakeholder.
Namun,
keberhasilan BPI tidak hanya bergantung pada metode atau alat yang
digunakan, melainkan juga pada sejauh mana organisasi memahami dan
menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam proses perbaikan
tersebut. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai kompas atau pedoman
agar perubahan yang dilakukan tidak sekadar kosmetik, melainkan benar-benar
memberikan dampak positif dan berkelanjutan.
Secara umum,
terdapat lima prinsip utama BPI yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Berorientasi pada pelanggan
2. Berbasis data dan fakta
3. Melibatkan semua pihak
4. Continuous improvement (perbaikan berkelanjutan)
5. Menggunakan teknologi tepat guna
Mari kita bahas
satu per satu dengan contoh konkret agar lebih mudah dipahami.
1. Berorientasi pada Pelanggan
Prinsip pertama
dan yang paling mendasar adalah orientasi pada pelanggan.
Setiap perbaikan proses bisnis harus berangkat dari pertanyaan: “Apakah
perubahan ini meningkatkan kepuasan pelanggan?”
Mengapa hal ini
penting? Karena pelanggan adalah pemberi nilai akhir (end user)
dari produk atau layanan. Jika perbaikan yang dilakukan justru menyulitkan
pelanggan, maka BPI tersebut gagal meskipun secara internal terlihat lebih
efisien.
Contoh:
·
Sebuah bank
melakukan perbaikan proses dengan memindahkan sebagian besar layanan ke sistem
digital. Dengan adanya aplikasi mobile banking, pelanggan tidak perlu lagi
datang ke cabang hanya untuk melakukan transfer atau cek saldo. Hasilnya,
kepuasan pelanggan meningkat karena layanan lebih cepat, mudah, dan bisa
diakses kapan saja.
·
Di sisi lain,
jika digitalisasi dilakukan tanpa mempertimbangkan pelanggan yang kurang melek
teknologi, maka bisa menimbulkan keluhan baru. Oleh karena itu, orientasi pada
pelanggan berarti memahami kebutuhan, preferensi, dan kemampuan
pelanggan secara menyeluruh.
2. Berbasis Data dan Fakta
Prinsip kedua
adalah pengambilan keputusan berbasis data dan fakta, bukan
sekadar intuisi atau asumsi. Dalam praktik BPI, organisasi seringkali terjebak
pada “feeling” atau “dugaan” bahwa suatu proses bermasalah, padahal
kenyataannya belum tentu demikian.
Oleh karena itu,
langkah analisis dalam BPI harus selalu menggunakan data yang valid, seperti:
·
Data waktu proses
(berapa lama suatu pekerjaan diselesaikan)
·
Data biaya
(berapa besar biaya yang dikeluarkan dalam proses tertentu)
·
Data kualitas
(berapa banyak kesalahan atau defect yang muncul)
·
Data kepuasan
pelanggan (feedback, komplain, survei)
Contoh:
·
Sebuah rumah
sakit ingin memperbaiki sistem pendaftaran pasien. Berdasarkan data
antrian, diketahui bahwa waktu tunggu rata-rata mencapai 2 jam. Data
ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan perubahan, misalnya dengan
sistem pendaftaran online.
·
Tanpa data,
perbaikan bisa salah arah. Misalnya, manajemen mungkin mengira masalah ada pada
jumlah staf, padahal sebenarnya masalah utamanya ada pada sistem alur dokumen.
Dengan prinsip
ini, BPI menjadi lebih objektif, terukur, dan memiliki dasar yang kuat.
3. Melibatkan Semua Pihak
Prinsip ketiga
adalah melibatkan semua pihak dalam proses perbaikan. BPI
bukan pekerjaan satu orang atau hanya tanggung jawab manajemen, melainkan
kolaborasi antara:
·
Manajemen
(pembuat kebijakan)
·
Karyawan
(pelaksana proses sehari-hari)
·
Stakeholder
eksternal (misalnya pelanggan, pemasok, mitra kerja)
Mengapa hal ini
penting? Karena karyawan yang terlibat langsung dalam proses seringkali lebih
memahami detail masalah dibandingkan manajemen puncak. Sementara itu,
stakeholder eksternal bisa memberikan perspektif kebutuhan dari luar
organisasi.
Contoh:
·
Sebuah perusahaan
manufaktur ingin memperbaiki proses produksi agar lebih cepat. Jika hanya
melibatkan manajemen, mungkin solusinya menambah mesin baru. Namun, ketika
operator pabrik ikut dilibatkan, mereka menyarankan perbaikan tata letak mesin
yang sederhana sehingga waktu transportasi material berkurang. Hasilnya,
perbaikan lebih murah dan efektif.
·
Dalam dunia jasa,
perusahaan travel online melibatkan pelanggan dalam memberikan feedback melalui
rating dan ulasan. Data ini kemudian digunakan untuk memperbaiki layanan agar
lebih sesuai dengan harapan pelanggan.
Prinsip ini
menegaskan bahwa semua pihak memiliki kontribusi penting dalam
keberhasilan BPI.
4. Continuous Improvement (Perbaikan Berkelanjutan)
BPI bukanlah
sebuah proyek sekali jalan, melainkan sebuah proses berkelanjutan.
Dunia bisnis terus berubah: teknologi berkembang, kebutuhan pelanggan berubah,
regulasi berganti, bahkan pola persaingan juga dinamis. Jika organisasi
berhenti berinovasi setelah sekali perbaikan, maka akan cepat tertinggal.
Oleh karena itu,
prinsip continuous improvement menekankan bahwa perbaikan
harus menjadi budaya organisasi, bukan hanya aktivitas sementara.
Contoh:
·
Perusahaan
e-commerce besar seperti Tokopedia atau Shopee tidak pernah berhenti
memperbarui aplikasi mereka. Hampir setiap bulan ada update fitur, mulai dari
sistem pembayaran, kecepatan loading, hingga keamanan transaksi. Hal ini
menunjukkan bahwa perbaikan proses terus dilakukan seiring dengan kebutuhan
pasar.
·
Dalam sektor
pendidikan, universitas terus melakukan evaluasi kurikulum setiap tahun agar
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan industri.
Dengan prinsip
ini, organisasi menjadi adaptif, inovatif, dan tahan terhadap perubahan
zaman.
5. Menggunakan Teknologi Tepat Guna
Prinsip terakhir
adalah menggunakan teknologi tepat guna. Teknologi memang
dapat mempercepat proses, meningkatkan akurasi, dan mengurangi biaya. Namun,
teknologi hanyalah alat, bukan tujuan utama.
Kesalahan yang
sering terjadi adalah perusahaan mengadopsi teknologi canggih tanpa memahami
apakah teknologi tersebut benar-benar dibutuhkan. Akibatnya, investasi besar
tidak memberikan manfaat signifikan.
Contoh:
·
Sebuah perusahaan
logistik menggunakan sistem tracking online agar pelanggan
bisa memantau status pengiriman secara real-time. Teknologi ini tepat guna
karena menjawab kebutuhan pelanggan.
·
Sebaliknya, jika
perusahaan kecil memaksakan penggunaan sistem ERP (Enterprise Resource
Planning) yang kompleks tanpa SDM yang mumpuni, maka justru bisa menimbulkan
kebingungan, biaya besar, dan resistensi dari karyawan.
Dengan prinsip
ini, setiap keputusan penggunaan teknologi harus melalui pertanyaan:
“Apakah teknologi ini benar-benar membantu memperbaiki proses bisnis?”
Prinsip-prinsip
BPI berfungsi sebagai fondasi yang memastikan setiap perbaikan proses
benar-benar bermanfaat dan berkelanjutan.
1. Berorientasi pada pelanggan menjadikan kepuasan pelanggan sebagai pusat
perhatian.
2. Berbasis data dan fakta memastikan keputusan yang diambil akurat dan terukur.
3. Melibatkan semua pihak menjamin partisipasi dan rasa memiliki dalam proses
perbaikan.
4. Continuous improvement menciptakan budaya perubahan yang konsisten.
5. Menggunakan teknologi tepat guna menjadikan teknologi sebagai alat bantu yang efektif,
bukan sekadar tren.
Dengan menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, organisasi dapat menciptakan proses bisnis yang lebih
efisien, responsif, dan kompetitif di tengah tantangan global.
LANGKAH-LANGKAH DALAM BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT
Perbaikan proses
bisnis (Business Process Improvement/BPI) tidak bisa dilakukan
secara sembarangan atau berdasarkan intuisi semata. Proses ini memerlukan
pendekatan yang sistematis, terstruktur, dan berbasis data
agar hasil perbaikan benar-benar memberikan dampak positif bagi organisasi.
Setidaknya terdapat
lima tahapan penting dalam pelaksanaan BPI, mulai dari
mengenali masalah hingga memastikan perbaikan benar-benar berjalan sesuai
harapan. Berikut penjelasan lebih rinci dari setiap langkahnya.
1. Identifikasi Proses yang Perlu Diperbaiki
Tahap pertama
dalam BPI adalah mengidentifikasi proses mana yang harus diperbaiki. Tidak
semua proses dalam organisasi harus diubah sekaligus, melainkan fokus pada proses-proses
kritis yang memberikan dampak besar terhadap kinerja bisnis atau
kepuasan pelanggan.
Langkah yang dilakukan:
·
Menganalisis
bagian mana dari organisasi yang sering menimbulkan keluhan pelanggan.
·
Mengamati
aktivitas kerja yang memakan waktu lama atau boros sumber daya.
·
Mengidentifikasi
proses yang menyebabkan biaya operasional tinggi atau sering terjadi kesalahan.
Contoh Kasus:
·
Dalam industri
asuransi, proses klaim seringkali menjadi titik lemah. Jika klaim membutuhkan
waktu 14 hari, pelanggan akan merasa kecewa. Proses inilah yang harus
diprioritaskan untuk diperbaiki.
·
Dalam e-commerce,
proses pengiriman barang yang terlambat adalah salah satu faktor utama yang
menurunkan kepuasan pelanggan.
Catatan
penting: Pemilihan proses harus
berdasarkan data, misalnya laporan kinerja, hasil survei pelanggan, atau
laporan audit internal.
2. Analisis Proses Saat Ini (As-Is Process)
Setelah mengetahui
proses yang bermasalah, langkah berikutnya adalah memahami kondisi saat
ini secara detail. Tahap ini sering disebut dengan membuat As-Is
Process, yaitu gambaran nyata tentang bagaimana proses dijalankan
sekarang.
Langkah yang dilakukan:
·
Membuat flowchart
atau diagram alur kerja dari awal hingga akhir.
·
Mengidentifikasi
siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut.
·
Mencatat
titik-titik masalah seperti: pekerjaan yang duplikatif, proses yang tidak
perlu, atau aktivitas yang menimbulkan bottleneck (kemacetan).
Contoh Kasus:
·
Proses klaim
asuransi: pelanggan harus mengisi formulir manual, menyerahkan dokumen ke
kantor cabang, dokumen diverifikasi manual, lalu dikirim ke kantor pusat, baru
kemudian diproses. Alur yang panjang inilah yang menyebabkan keterlambatan.
·
Proses pelayanan
rumah sakit: pasien harus mendaftar manual di loket, lalu menunggu lama hanya
untuk mendapatkan nomor antrean dokter. Proses ini bisa ditinjau untuk melihat
bagian mana yang membuat pasien menunggu terlalu lama.
Catatan
penting: Analisis proses saat
ini membantu organisasi melihat kenyataan di lapangan, bukan
hanya berdasarkan asumsi manajemen.
3. Desain Proses Baru (To-Be Process)
Tahap ketiga
adalah merancang To-Be Process, yaitu rancangan proses baru
yang lebih baik dibanding proses lama. Tujuannya adalah menciptakan alur kerja
yang lebih efisien, cepat, murah, dan berkualitas tinggi.
Langkah
yang dilakukan:
·
Menyusun ulang
alur kerja dengan menghilangkan aktivitas yang tidak memberi nilai tambah.
·
Mengintegrasikan
teknologi untuk mempercepat proses (misalnya sistem digitalisasi atau
otomatisasi).
·
Menciptakan
prosedur baru yang lebih sederhana namun tetap sesuai regulasi dan standar
kualitas.
Contoh
Kasus:
·
Klaim asuransi
yang tadinya butuh 14 hari bisa dipersingkat menjadi 3 hari dengan: formulir
online, verifikasi otomatis lewat sistem, dan transfer dana langsung ke
rekening nasabah.
·
Rumah sakit
membuat sistem pendaftaran online sehingga pasien bisa memilih
jadwal dokter melalui aplikasi, tanpa perlu antre panjang di loket.
Catatan
penting: Desain baru harus tetap
realistis, mempertimbangkan kondisi organisasi, kemampuan karyawan, serta
kesiapan teknologi.
4. Implementasi Perubahan
Tahap keempat
adalah menerapkan perubahan sesuai desain proses baru.
Implementasi merupakan tahap yang paling krusial karena di sinilah ide dan
rancangan diuji dalam kenyataan.
Langkah yang dilakukan:
·
Melakukan sosialisasi
kepada seluruh karyawan tentang proses baru.
·
Memberikan pelatihan
agar karyawan memahami cara kerja yang baru.
·
Menyediakan
infrastruktur atau teknologi pendukung yang dibutuhkan.
·
Memastikan
dukungan penuh dari manajemen, karena tanpa sponsor dari pimpinan, perubahan
sulit berhasil.
Contoh Kasus:
·
Bank yang
memperkenalkan sistem pembukaan rekening online harus melatih staf customer
service agar bisa membantu nasabah yang kesulitan menggunakan aplikasi.
·
E-commerce yang
mempercepat proses pengiriman harus berinvestasi dalam gudang otomatis atau
sistem logistik baru.
Catatan
penting: Perubahan sering
menghadapi resistensi dari karyawan. Oleh karena itu,
komunikasi yang jelas tentang manfaat perubahan sangat diperlukan.
5. Evaluasi dan Monitoring
Tahap terakhir
adalah mengukur hasil setelah perubahan diterapkan. Evaluasi
dilakukan untuk memastikan bahwa proses baru benar-benar menghasilkan
peningkatan sesuai harapan.
Langkah
yang dilakukan:
·
Membandingkan
indikator kinerja sebelum dan sesudah perubahan.
·
Melakukan survei
kepuasan pelanggan untuk mengetahui dampak perbaikan.
·
Mengidentifikasi
kekurangan dari proses baru untuk dilakukan penyesuaian lebih lanjut.
Contoh Kasus:
·
Setelah perubahan
proses klaim asuransi, waktu klaim berkurang dari 14 hari menjadi 3 hari. Namun
jika masih ada 10% klaim yang bermasalah, maka perusahaan perlu mencari solusi
tambahan.
·
Rumah sakit
menemukan bahwa meskipun pendaftaran online mengurangi antrean di loket, masih
ada pasien lansia yang kesulitan menggunakan aplikasi. Solusinya: menyediakan
layanan bantuan khusus bagi pasien lansia.
Catatan
penting: Evaluasi bukan akhir dari
BPI, melainkan bagian dari perbaikan berkelanjutan (continuous
improvement).
Langkah-langkah
dalam Business Process Improvement (BPI) mencakup:
1. Identifikasi proses bermasalah,
2. Analisis kondisi saat ini (As-Is Process),
3. Perancangan proses baru (To-Be Process),
4. Implementasi perubahan, dan
5. Evaluasi serta monitoring hasil.
Setiap langkah
saling berkaitan dan harus dijalankan secara disiplin agar menghasilkan perbaikan
nyata. Dengan pendekatan ini, organisasi tidak hanya mengurangi biaya
dan mempercepat layanan, tetapi juga meningkatkan kualitas, kepuasan
pelanggan, dan daya saing jangka panjang.
METODE DAN ALAT YANG DIGUNAKAN DALAM BPI
Dalam praktiknya, Business
Process Improvement (BPI) tidak bisa dilakukan hanya dengan niat dan
semangat perubahan. Organisasi memerlukan metode, pendekatan, dan alat bantu
(tools) yang tepat agar perbaikan proses berjalan sistematis, terukur, dan
menghasilkan dampak nyata. Tanpa metode yang jelas, upaya BPI sering kali hanya
menjadi jargon manajemen yang berhenti di atas kertas.
Berikut adalah
beberapa metode populer yang sering digunakan dalam BPI, lengkap dengan
penjelasan terperinci dan contoh penerapannya di dunia nyata.
1. Six Sigma
Six Sigma adalah
sebuah metodologi manajemen kualitas yang fokus pada mengurangi
kesalahan (defects) dan variasi dalam proses agar
hasil lebih konsisten. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Motorola
pada tahun 1986 dan kemudian dipopulerkan oleh General
Electric (GE) di bawah kepemimpinan Jack Welch.
Secara sederhana,
Six Sigma bertujuan agar suatu proses dapat menghasilkan produk/jasa dengan
tingkat kesalahan yang sangat rendah, yakni tidak lebih dari 3,4 cacat
per satu juta kesempatan (DPMO - Defects Per Million Opportunities).
Prinsip Utama
·
Berbasis data dan
fakta (data-driven decision making).
·
Fokus pada
pelanggan.
·
Mengurangi
variasi yang menyebabkan ketidakstabilan kualitas.
Alat dan Teknik
Six Sigma
menggunakan kerangka kerja DMAIC:
·
Define → identifikasi masalah dan kebutuhan pelanggan.
·
Measure → ukur kinerja proses yang ada.
·
Analyze → analisis akar penyebab masalah.
·
Improve → lakukan perbaikan pada proses.
·
Control → kontrol hasil agar perbaikan berkelanjutan.
Contoh Penerapan
·
Industri
otomotif: Toyota menggunakan
prinsip Six Sigma untuk mengurangi cacat produksi sehingga kendaraan lebih aman
dan tahan lama.
·
Rumah
sakit: rumah sakit di Amerika
menggunakan Six Sigma untuk menurunkan angka kesalahan pemberian obat.
·
Perbankan: bank menerapkan Six Sigma untuk mempercepat proses
persetujuan kredit, mengurangi waktu tunggu dari hitungan minggu menjadi hanya
beberapa hari.
2. Lean Management
Lean Management
adalah metode perbaikan proses yang berfokus pada eliminasi pemborosan
(waste), baik dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga kerja. Konsep ini
berakar dari Toyota Production System (TPS) yang dikembangkan
pasca Perang Dunia II di Jepang.
Prinsip Utama
·
Mengidentifikasi
aktivitas yang bernilai tambah (value added) bagi pelanggan.
·
Menghilangkan
aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value added).
·
Menciptakan
aliran proses yang lebih lancar.
Jenis-jenis Pemborosan dalam Lean (7 Waste /
Muda)
1. Overproduction (produksi berlebihan).
2. Waiting (menunggu).
3. Transportation (transportasi berlebihan).
4. Overprocessing (proses berlebihan).
5. Inventory (persediaan berlebihan).
6. Motion (gerakan tidak efisien).
7. Defects (produk rusak).
Contoh Penerapan
·
Pabrik
manufaktur: mengurangi waktu
set-up mesin sehingga produksi lebih cepat.
·
Ritel: supermarket menggunakan lean untuk menata rak agar
pelanggan mudah menemukan produk.
·
Rumah
sakit: penerapan lean dalam
sistem antrian pasien untuk mengurangi waktu tunggu berjam-jam.
3. Total Quality Management (TQM)
Total
Quality Management (TQM) adalah
pendekatan manajemen yang menekankan pentingnya kualitas dalam semua
aspek organisasi, bukan hanya di bagian produksi. TQM menekankan bahwa
setiap orang di perusahaan bertanggung jawab terhadap kualitas.
Prinsip Utama
·
Customer
focus: semua keputusan harus
berorientasi pada kepuasan pelanggan.
·
Continuous
improvement: perbaikan
berkelanjutan dalam setiap aktivitas.
·
Employee
involvement: melibatkan seluruh
karyawan, dari level bawah hingga top management.
Alat dan Teknik
·
Diagram
sebab-akibat (Fishbone Diagram).
·
Histogram
kualitas.
·
Control chart
(peta kendali).
Contoh Penerapan
·
Hotel: menggunakan TQM untuk memastikan standar pelayanan
kamar selalu konsisten.
·
Pendidikan: universitas menerapkan TQM untuk meningkatkan mutu
pelayanan akademik dan administrasi.
·
Industri
penerbangan: maskapai
menggunakan TQM untuk meningkatkan keselamatan penerbangan melalui standar
perawatan pesawat yang ketat.
4. Kaizen (Continuous Improvement)
Kaizen berasal
dari bahasa Jepang, terdiri dari kata Kai (perubahan) dan Zen (lebih baik). Kaizen berarti perbaikan kecil
yang dilakukan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari di tempat
kerja.
Metode ini populer
karena tidak membutuhkan perubahan radikal, melainkan perbaikan bertahap yang
konsisten.
Prinsip Utama
·
Fokus pada
perbaikan kecil tetapi berkelanjutan.
·
Melibatkan semua
karyawan dalam ide perbaikan.
·
Budaya kerja yang
disiplin dan berorientasi kualitas.
Contoh Penerapan
·
Pabrik
manufaktur: karyawan memberikan
ide sederhana, misalnya memindahkan alat kerja lebih dekat ke area produksi
untuk menghemat waktu.
·
Perusahaan
jasa: call center rutin
mengevaluasi cara menjawab telepon agar pelanggan merasa lebih puas.
·
Sekolah: guru dan staf sekolah melakukan rapat rutin untuk
memperbaiki sistem absensi atau jadwal pelajaran.
5. Business Process Reengineering (BPR)
BPR adalah
pendekatan perbaikan proses yang lebih radikal dibandingkan
metode lain. Jika BPI umumnya fokus pada perbaikan bertahap, BPR justru
melakukan perombakan menyeluruh (radical redesign) terhadap
proses bisnis inti untuk mencapai peningkatan dramatis dalam biaya, kualitas,
layanan, dan kecepatan.
Konsep BPR
dipopulerkan oleh Hammer dan Champy (1993) melalui bukunya Reengineering the Corporation.
Prinsip Utama
·
Memulai dari
"blank sheet of paper" (mendesain ulang dari nol).
·
Mengabaikan cara
lama, lalu membangun cara baru yang lebih efisien.
·
Fokus pada proses
inti yang memberikan nilai terbesar bagi pelanggan.
Contoh Penerapan
·
Perbankan: mengganti seluruh sistem manual dengan digital
banking.
·
Layanan
publik: pemerintah beralih dari
birokrasi kertas ke sistem e-government.
·
Maskapai
penerbangan: menghapus tiket kertas
dan menggantinya dengan e-ticketing.
Metode dan alat
dalam BPI seperti Six Sigma, Lean, TQM, Kaizen, dan BPR merupakan fondasi
penting agar organisasi dapat memperbaiki proses bisnisnya secara sistematis.
·
Six Sigma dan Lean sering dipakai bersamaan dalam
pendekatan Lean Six Sigma, yang menggabungkan efisiensi dan
kualitas.
·
TQM membangun budaya kualitas yang melibatkan semua
orang.
·
Kaizen mendorong perbaikan kecil tapi berkelanjutan.
·
BPR digunakan ketika organisasi membutuhkan perubahan
drastis.
Dengan pemilihan
metode yang tepat, organisasi tidak hanya memperbaiki proses, tetapi juga
membangun keunggulan bersaing jangka panjang.
Tantangan dalam Business Process Improvement (BPI)
Meskipun BPI
memberikan banyak manfaat, proses ini tidak selalu berjalan mulus. Ada berbagai
hambatan yang harus dihadapi organisasi ketika ingin memperbaiki proses bisnis.
Berikut uraian lebih detail:
1. Resistensi Karyawan
Salah satu
tantangan terbesar adalah penolakan dari karyawan. Banyak
pegawai merasa nyaman dengan cara kerja lama yang sudah mereka kuasai. Ketika
diminta menggunakan sistem baru, muncul rasa takut, khawatir, bahkan marah.
·
Contoh: Di sebuah perusahaan manufaktur, ketika sistem
pencatatan manual diganti dengan sistem ERP (Enterprise Resource Planning),
sebagian karyawan menolak karena merasa pekerjaannya akan digantikan teknologi.
·
Dampak: Perubahan bisa terhambat, bahkan gagal, jika
resistensi ini tidak dikelola.
·
Solusi: Organisasi harus melakukan komunikasi yang
baik, memberikan pelatihan, dan meyakinkan karyawan
bahwa teknologi bukan menggantikan, melainkan mempermudah pekerjaan mereka.
2. Kurangnya Dukungan Manajemen
BPI membutuhkan komitmen
dari manajemen puncak. Tanpa dukungan manajemen, proyek perbaikan
sering kali berhenti di tengah jalan.
·
Contoh: Jika direktur atau manajer tidak mau mengalokasikan
anggaran untuk teknologi baru, maka ide perbaikan tidak bisa dijalankan.
·
Dampak: Tim perbaikan kehilangan motivasi, perubahan setengah
jalan, hasilnya tidak optimal.
·
Solusi: Manajemen harus berperan sebagai sponsor
perubahan dengan menyediakan anggaran, sumber daya, dan dorongan
moral.
3. Keterbatasan Sumber Daya
BPI sering kali
membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga ahli. Tidak semua organisasi memiliki
sumber daya memadai.
·
Contoh: Rumah sakit kecil mungkin ingin membangun sistem
rekam medis elektronik, tetapi terkendala dana dan SDM IT yang terbatas.
·
Dampak: Perubahan hanya dilakukan secara parsial, tidak
maksimal.
·
Solusi: Organisasi bisa melakukan perbaikan bertahap
(incremental improvement) atau bekerja sama dengan pihak ketiga (outsourcing).
4. Kesulitan Mengubah Budaya Organisasi
BPI bukan hanya
soal teknologi atau prosedur, tetapi juga perubahan budaya kerja.
Mengubah kebiasaan, pola pikir, dan nilai dalam organisasi adalah tantangan
yang paling sulit.
·
Contoh: Perusahaan jasa yang terbiasa melayani pelanggan
dengan cara tatap muka, merasa enggan beralih ke sistem digital karena takut
kehilangan “sentuhan personal”.
·
Dampak: Budaya lama yang tidak mendukung inovasi bisa menjadi
penghambat serius.
·
Solusi: Organisasi perlu membangun budaya kerja yang pro-perubahan
melalui edukasi, penghargaan bagi karyawan inovatif, dan kepemimpinan yang
memberi teladan.
Contoh penerapan
BPI di sektor perbankan, e-commerce, dan rumah sakit menunjukkan bahwa
perbaikan proses bisnis dapat memberikan dampak nyata berupa efisiensi,
efektivitas, dan peningkatan kepuasan pelanggan. Namun, perjalanan menuju
perbaikan tidak selalu mudah. Tantangan berupa resistensi karyawan, kurangnya
dukungan manajemen, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan mengubah budaya
organisasi harus dikelola dengan baik.
Intinya: BPI bukan sekadar proyek teknis, melainkan perjalanan
transformasi organisasi yang memerlukan komitmen, kolaborasi, dan
konsistensi.
CONTOH PENERAPAN BPI
Perbaikan proses
bisnis (BPI) tidak hanya berlaku di satu sektor, tetapi bisa diterapkan di
berbagai bidang kehidupan organisasi baik perusahaan
swasta, lembaga publik, maupun organisasi sosial. Berikut contoh-contoh
konkret:
1. Sektor Perbankan
Dulu, membuka
rekening di bank merupakan proses yang memakan waktu cukup lama. Calon nasabah
harus datang ke kantor cabang, mengisi formulir fisik, melampirkan fotokopi
dokumen, menunggu verifikasi manual, bahkan terkadang harus kembali ke bank di
hari berikutnya. Proses ini bisa memakan waktu 1–2 hari.
Namun, setelah
dilakukan perbaikan proses bisnis melalui digitalisasi layanan
perbankan, proses pembukaan rekening kini bisa selesai dalam 30
menit bahkan kurang.
·
Apa yang
diperbaiki?
o Formulir fisik digantikan formulir online.
o Verifikasi identitas dilakukan dengan teknologi e-KYC
(Electronic Know Your Customer), cukup dengan swafoto dan scan KTP.
o Nasabah bisa membuka rekening langsung dari aplikasi
mobile banking, tanpa harus datang ke cabang.
Hasil perbaikan:
·
Efisiensi waktu
bagi nasabah (tidak perlu antre di cabang).
·
Bank menghemat
biaya operasional (lebih sedikit kertas, lebih sedikit pegawai di front
office).
·
Kepuasan
pelanggan meningkat karena layanan lebih cepat.
Pelajaran: BPI membuat bank
lebih dekat dengan masyarakat digital, sekaligus memperkuat daya saing di era
fintech.
2. Sektor E-Commerce
Pada awal
perkembangan e-commerce, salah satu keluhan utama pelanggan adalah rumitnya
proses retur barang. Pembeli yang tidak puas harus menghubungi customer
service, mengisi formulir, menunggu persetujuan, lalu mengirimkan barang dengan
prosedur berlapis. Proses ini sering membuat pelanggan enggan mengajukan retur,
bahkan menurunkan kepercayaan pada platform.
Dengan menerapkan
prinsip BPI, perusahaan e-commerce melakukan otomatisasi retur barang
melalui aplikasi:
·
Pelanggan hanya
perlu klik opsi “retur” di aplikasi, memilih alasan, lalu sistem otomatis
mengeluarkan kode retur dan voucher pengiriman.
·
Barang dikirim
kembali dengan lebih sederhana melalui drop point logistik.
·
Status retur
dapat dipantau langsung di aplikasi.
Hasil
perbaikan:
·
Proses retur yang
dulu bisa memakan waktu 1 minggu, kini hanya membutuhkan beberapa hari.
·
Kepercayaan
pelanggan meningkat karena mereka merasa dilindungi.
·
Perusahaan dapat
meningkatkan customer retention (pelanggan kembali
berbelanja).
Pelajaran: BPI membantu
perusahaan e-commerce menekan keluhan pelanggan, sekaligus meningkatkan
loyalitas.
3. Sektor Kesehatan (Rumah Sakit)
Sebelum adanya
sistem digital, pasien yang datang ke rumah sakit sering menghadapi masalah antrian
panjang hanya untuk mendaftar. Proses registrasi manual, verifikasi
kartu pasien, hingga pencarian rekam medis fisik bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
Dengan penerapan
BPI, rumah sakit memperbaiki proses pendaftaran melalui:
·
Sistem
pendaftaran online, di mana
pasien bisa mendaftar melalui aplikasi atau website sebelum datang.
·
Nomor
antrian digital, sehingga pasien
bisa memperkirakan jam kedatangan.
·
Rekam
medis elektronik, yang dapat
diakses dokter langsung melalui komputer tanpa mencari berkas kertas.
Hasil
perbaikan:
·
Waktu tunggu
pasien berkurang secara signifikan.
·
Rumah sakit lebih
terorganisir dalam memberikan layanan.
·
Tingkat stres
pasien menurun, kepuasan meningkat.
Pelajaran: BPI di sektor
kesehatan berkontribusi langsung pada keselamatan pasien dengan layanan lebih
cepat dan akurat.
Kesimpulan
Business Process Improvement (BPI)
adalah strategi penting dalam manajemen modern yang berfungsi sebagai kunci
keberhasilan organisasi di era persaingan global. Melalui BPI, organisasi dapat
memperbaiki alur kerja, mengurangi pemborosan, mempercepat proses, dan
meningkatkan kualitas layanan maupun produk. Tujuan akhirnya adalah menciptakan
kepuasan pelanggan yang lebih tinggi serta membangun daya saing yang
berkelanjutan.
Contoh penerapan BPI di sektor
perbankan, e-commerce, dan rumah sakit membuktikan bahwa perubahan nyata dapat
membawa manfaat besar, baik bagi pelanggan maupun bagi organisasi itu sendiri.
Namun, proses menuju perbaikan tidak selalu mudah. Tantangan seperti resistensi
karyawan, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan mengubah budaya organisasi
menjadi faktor yang harus dikelola secara bijak.
Dengan demikian, dapat ditegaskan
bahwa BPI bukan sekadar proyek teknis, melainkan perjalanan transformasi
organisasi yang memerlukan dukungan manajemen, keterlibatan seluruh
karyawan, dan komitmen terhadap perbaikan berkelanjutan. Bagi mahasiswa dan
calon manajer di masa depan, memahami konsep BPI bukan hanya memberikan bekal
teoritis, tetapi juga keterampilan praktis untuk menghadapi tantangan nyata di
dunia kerja.
Singkatnya, BPI adalah investasi
strategis jangka panjang yang memungkinkan organisasi tetap relevan,
unggul, dan adaptif di tengah perubahan zaman yang cepat dan penuh
ketidakpastian.
Daftar Pustaka
1. Harmon, P. (2020). Business Process Change: A
Business Process Management Guide for Managers and Process Professionals.
4th Edition. Morgan Kaufmann.
2. Dumas, M., La Rosa, M., Mendling, J., & Reijers,
H. A. (2018). Fundamentals of Business Process Management. Springer.
3. vom Brocke, J., & Rosemann, M. (Eds.). (2021). Handbook
on Business Process Management. Springer.
4. Weske, M. (2019). Business Process Management:
Concepts, Languages, Architectures. Springer.
5. Modul Analisis Proses Bisnis. (2023). Tim Pengajar
Universitas.
6. Hammer, M., & Champy, J. (2001). Reengineering
the Corporation: A Manifesto for Business Revolution. Harper Business.
7. Porter, M. E. (1985). Competitive Advantage:
Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press.
8. Rummler, G. A., & Brache, A. P. (2012). Improving
Performance: How to Manage the White Space on the Organization Chart.
Jossey-Bass.
9. ISO 9001:2015. Quality management systems —
Requirements.
10. Wibowo, A. (2020). Manajemen Proses Bisnis.
Jakarta: Rajawali Pers.
VERSI PDF.
0 Response to "BAB. 7 PERBAIKAN PROSES BISNIS (BUSINESS PROCESS IMPROVEMENT / BPI)"
Posting Komentar