Tolol Memilih atau Ditololkan? Menyingkap Paradoks Demokrasi Kita
Pertanyaan yang Mengganggu di Ujung Bilik Suara
Setiap lima tahun sekali, rakyat Indonesia berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS). Wajah penuh harapan, jari yang siap dicelup tinta, dan hati yang berdebar antara ragu dan percaya. Di balik lipatan kertas suara, ada sebuah pilihan yang konon menjadi penentu masa depan bangsa.
Namun, setelah pesta demokrasi itu
usai, setelah suara dihitung dan kursi kekuasaan kembali terisi, muncul
pertanyaan getir: mengapa wajah-wajah yang duduk di kursi parlemen sering kali
tak seindah janji yang mereka ucapkan?
Maka, pertanyaan yang menggema di
ruang publik pun terdengar pedih: “Apakah kita tolol dalam memilih, atau
kita sedang ditololkan oleh sistem yang korup?”
Pertanyaan ini bukan sekadar
sindiran, melainkan jeritan hati yang lahir dari luka panjang hubungan rakyat
dengan wakilnya. Paradoks demokrasi Indonesia terletak di sini: rakyat punya
suara, tapi sering merasa tak berdaya.
Demokrasi Janji
Manis yang Tak Selalu Tiba di Meja Rakyat
Demokrasi, dalam definisi yang
ideal, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebuah
sistem yang lahir dari keyakinan bahwa suara terbanyak adalah cermin kehendak
bersama.
Namun dalam kenyataannya, demokrasi
kita kerap berhenti pada simbol: spanduk, baliho, jargon kampanye, dan pesta
rakyat di hari pemilu. Setelah itu, rakyat kembali ke rutinitasnya, sementara
wakil rakyat yang terpilih sibuk menata jalan menuju kekuasaan yang lebih
tinggi.
Demokrasi pun terasa seperti kisah
cinta sepihak: rakyat jatuh hati, memberi suara, memberi harapan, sementara
wakilnya hanya singgah sebentar, lalu pergi meninggalkan luka.
Apakah itu salah rakyat karena mudah
tergoda janji? Atau karena sistem demokrasi memang membuka ruang untuk
manipulasi, pencitraan, dan politik uang?
Saat
Suara Rakyat Jadi Murah
Tak bisa dipungkiri, di banyak
daerah suara rakyat sering diperdagangkan. Politik uang masih menjadi luka
purba demokrasi kita. Satu suara dihargai seratus ribu rupiah, sekarung beras,
atau bahkan hanya sekotak mi instan.
Ironisnya, banyak rakyat yang
menerima dengan senyum, karena kebutuhan perut lebih mendesak daripada janji
perubahan. Dalam kondisi ini, rakyat sebenarnya bukan tolol, melainkan dipaksa
oleh keadaan. Mereka tahu uang itu hanya sementara, tapi lapar tak bisa
menunggu.
Di sisi lain, para calon yang
membeli suara pun sadar: mereka tak perlu benar-benar berjuang setelah
terpilih. Sebab suara rakyat sudah dibeli di muka, tanggung jawabnya pun terasa
lunas di hari pemilu.
Maka lahirlah paradoks itu: rakyat
mengeluh punya wakil yang buruk, tapi di sisi lain ikut melanggengkan budaya
politik uang.
Politik
Janji, Politik Ingatan Pendek
Setiap pemilu, rakyat disuguhi
janji-janji manis: pendidikan gratis, lapangan kerja luas, harga murah, hingga
kesejahteraan yang merata. Janji itu terdengar bagai puisi, indah namun rapuh.
Begitu terpilih, banyak wakil rakyat
sibuk dengan dirinya sendiri. Sidang paripurna kosong kursi, undang-undang
dibuat tanpa konsultasi publik, korupsi mencuat di layar televisi. Janji yang
dulu memikat, kini hanya jadi catatan sejarah kampanye.
Namun rakyat pun sering memiliki
ingatan pendek. Lima tahun kemudian, wajah lama bisa kembali dipilih hanya
karena baliho baru dengan senyum yang lebih lebar.
Apakah ini bukti rakyat tolol? Atau
bukti betapa cerdasnya sistem politik dalam mengatur ingatan kolektif agar
rakyat cepat lupa?
Ditololkan
oleh Sistem
Mari kita jujur. Demokrasi kita
bukan sekadar soal rakyat yang memilih, tetapi juga soal sistem yang mengatur
permainan.
Partai politik, sebagai pintu masuk
calon anggota DPR, sering kali lebih mengutamakan loyalitas dan modal besar
ketimbang integritas. Tiket politik bukan diberikan kepada yang berjuang untuk
rakyat, tetapi kepada mereka yang punya uang dan jaringan.
Media massa pun tak sepenuhnya
bebas. Banyak yang menjadi corong bagi kepentingan elite, menampilkan
wajah-wajah tertentu sebagai pahlawan, sambil menutupi noda di balik layar.
Rakyat seperti dipaksa masuk ke
pasar gelap politik, di mana pilihan terbaik hanyalah yang paling sedikit
buruknya. Inilah paradoks besar demokrasi kita: rakyat diminta memilih, tetapi
pilihan yang tersedia sering kali sudah dimanipulasi.
Luka
Kolektif, Luka yang Berulang
Dari satu periode ke periode lain,
luka itu berulang. Rakyat kecewa, rakyat marah, rakyat turun ke jalan. Namun
setelah itu, semuanya kembali seperti semula.
Kekecewaan ini adalah luka kolektif.
Kita tahu bahwa banyak anggota DPR sibuk memperkaya diri, sibuk mengurus
proyek, sibuk meloloskan undang-undang kontroversial. Tapi kita juga tahu, lima
tahun lagi, kita akan kembali ke bilik suara.
Kita marah, tapi tetap memilih. Kita
kecewa, tapi tetap berharap. Inilah paradoks cinta rakyat terhadap demokrasi:
meski sering dilukai, rakyat tak pernah benar-benar meninggalkannya.
Cinta
yang Perlu Disadarkan
Cinta buta sering membawa pada luka
yang sama. Begitu pula cinta rakyat kepada demokrasi. Kita percaya bahwa suatu
hari, wakil rakyat akan benar-benar setia. Namun kepercayaan tanpa sikap kritis
hanya akan menjadikan kita korban abadi.
Otokritik harus lahir. Rakyat tak
boleh hanya jadi penonton, tapi harus berani menagih janji, melawan politik
uang, dan belajar lebih kritis dalam memilih.
Demokrasi bukan hanya tentang
mencoblos, tetapi tentang partisipasi aktif: mengawasi, mengkritik, dan melawan
jika janji dikhianati.
Tanpa itu, rakyat bukan hanya tolol
memilih, tetapi rela ditololkan berkali-kali.
Harapan
yang Tak Pernah Mati
Meski pahit, harapan tak boleh
padam. Demokrasi, betapapun cacatnya, tetap memberi ruang bagi perubahan.
Masih ada wakil rakyat yang jujur,
yang benar-benar bekerja, meski mereka minoritas. Masih ada gerakan rakyat,
mahasiswa, jurnalis, dan aktivis yang menjaga demokrasi tetap hidup.
Setiap kritik yang disuarakan,
setiap aksi yang dilakukan, setiap suara yang tidak bisa dibeli, adalah cahaya
kecil yang menolak padam.
Demokrasi bukan janji surga,
melainkan perjuangan tanpa akhir. Jika rakyat terus belajar, terus kritis, dan
terus berani bersuara, maka cinta ini tak lagi akan selalu berakhir luka.
Tolol
Memilih atau Ditololkan?
Paradoks demokrasi kita terletak
pada pertanyaan abadi: apakah rakyat yang tolol memilih, ataukah rakyat yang
ditololkan oleh sistem?
Jawabannya: mungkin keduanya. Rakyat
terkadang lengah, mudah terbuai janji, mudah tergoda uang. Namun lebih sering,
rakyat adalah korban dari sistem yang dirancang untuk melanggengkan kekuasaan.
Yang jelas, kita tidak boleh
berhenti bertanya. Kita tidak boleh berhenti kritis. Karena hanya dengan terus
menagih, terus mengawasi, dan terus melawan, demokrasi bisa kembali pada hakikatnya:
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi bukan hadiah, melainkan
cinta yang harus terus diperjuangkan. Dan cinta sejati, meski sering dilukai,
tak pernah berhenti berharap.
0 Response to "Tolol Memilih atau Ditololkan? Menyingkap Paradoks Demokrasi Kita"
Posting Komentar