Prolog: Fajar Tak Pernah Ingkar Janji
Hari ini bukan waktunya untuk menyerah idak, bukan hari ini, dan tidak juga esok, ataupun lusa. Karena selama denyut nadimu masih bersenandung dalam sunyi, selama udara masih sudi kau hirup meski sesak, selama langkahmu betapapun lambatnya masih menggoreskan jejak di bumi yang renta ini, maka menyerah bukanlah pilihan. Ia hanyalah bayang-bayang yang menggoda dari kejauhan, fatamorgana yang hendak menyesatkanmu ke lembah tanpa cahaya.
Langit
mungkin muram. Ia menggantung mendung yang sarat air mata, seakan alam pun
turut bersedih bersama nestapamu. Angin bertiup getir, membawa kisah-kisah luka
yang tak sempat sembuh, menyelusup di antara reranting pohon, menari dalam
bisikan yang hanya bisa dipahami oleh jiwa-jiwa yang pernah merasa patah.
Namun, tidakkah kau sadari? Dalam gelapnya malam yang menggulung cakrawala,
fajar tetap bersiap di ufuk, menanti waktu yang tepat untuk melukis langit
dengan semburat harapan.
Begitulah
hidup. Ia bukan serangkaian kemenangan,
tapi kumpulan perlawanan yang tak pernah usai. Di balik senyum seseorang,
tersembunyi luka yang tak kasatmata. Di balik tawa, tersimpan kisah tentang
bertahan. Maka jangan merasa sendiri saat kau goyah. Dunia ini penuh dengan
mereka yang tampak kuat, padahal tengah runtuh perlahan di dalam. Kau tak sendiri.
Dan justru karena itu, kau tak boleh menyerah.
Kau
adalah puisi yang ditulis oleh semesta, dengan tinta keberanian dan bait-bait
yang tercipta dari air mata dan perjuangan. Takdir tak pernah asal menuliskan
kisah; setiap luka yang kau bawa adalah aksara yang memperindah syair hidupmu.
Bahkan retakan terdalam pada hatimu pun hanya cara Tuhan menjadikanmu wadah
yang lebih luas untuk menampung kasih, untuk memahami derita sesama, dan untuk
akhirnya bersinar lebih terang.
Jangan
malu pada tangismu. Biarlah ia jatuh karena tangis bukan tanda kalah, melainkan
air suci yang membasuh beban. Ia adalah gerimis yang menyuburkan jiwamu, agar
tak mati kering di bawah panas kenyataan. Air mata adalah bahasa paling jujur
dari jiwa, jeritan tanpa suara yang mengandung ribuan kata, ribuan kenangan,
ribuan pengakuan bahwa kau lelah… tapi tetap ingin hidup.
Lihatlah
pohon di tepi jalan. Ia tak tumbuh di taman yang nyaman, tak dirawat oleh
tangan-tangan lembut, tapi tetap berdiri. Ia dipukul hujan, dicambuk angin,
digoda matahari yang tak ramah. Namun akarnya menggenggam bumi dengan penuh
kesetiaan. Ia percaya, selama masih berdiri, ada kehidupan. Dan begitu pula
dirimu kau adalah pohon itu. Bertahanlah. Genggam tanahmu, meski licin, meski
berlumpur. Karena badai, sekuat apa pun, pasti berlalu. Dan setelahnya, akan
ada langit biru yang menantimu.
Kau
lebih kuat dari yang kau kira. Di dalam dada yang sesak itu, tersembunyi
keberanian seekor burung yang ingin terbang, meski sayapnya luka. Di dalam
benak yang kacau itu, tersimpan ribuan mimpi yang belum sempat menyapa pagi.
Jangan biarkan gelap menelan cahayamu. Jangan beri kesempatan pada keputusasaan
untuk berakar. Kau diciptakan bukan untuk menyerah tapi untuk melewati badai
dan keluar darinya, meski penuh luka, tapi tetap hidup.
Melangkahlah,
walau tertatih. Terkadang, satu langkah kecil di tanah yang gersang lebih
berharga dari seribu langkah di jalan yang mudah. Karena dari kesulitanlah
kekuatan lahir. Dan dari luka, keindahan tumbuh.
Kelak,
suatu hari di masa depan, saat kau duduk di bawah senja yang tenang, kau akan
menoleh ke belakang dan berkata dalam hati, "Aku pernah nyaris menyerah.
Aku pernah terpuruk, nyaris tak bernapas. Tapi aku memilih bertahan." Dan
ketika kata-kata itu terucap, kau akan tahu—betapa indah dunia ini saat kau
memilih untuk tidak pergi. Dunia menyambutmu bukan dengan karpet merah, tapi
dengan pelukan hangat dari kehidupan yang kau perjuangkan dengan air mata dan
doa.
Hidup
bukan soal menang atau kalah, tapi soal bertahan. Bertahan dalam senyap, dalam tangis, dalam gelap, hingga
akhirnya terang datang. Sebab terang itu bukan datang dari luar, tetapi lahir
dari dalam hatimu sendiri.
Copyrigh Nono Sugiono
0 Response to "Prolog: Fajar Tak Pernah Ingkar Janji"
Posting Komentar