Membaca dengan Luka, Bukan Mata
Ada hal-hal dalam hidup yang tak dapat dijelaskan oleh logika, yang terlalu halus untuk disentuh oleh nalar, terlalu dalam untuk diselami oleh akal semata. Bukan karena kita bodoh, bukan karena kita tertinggal dalam membaca alur kehidupan, tetapi karena beberapa fragmen kehidupan memang ditulis bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakandengan luka, dengan diam, dengan jiwa yang bersedia menyelami kehampaan penantian.
Kita
sering diajarkan untuk membaca kehidupan dengan mata terbuka, padahal kadang
yang paling jujur hanya bisa dibaca dengan mata yang tertutup, dengan kelopak
yang basah oleh air mata yang tak sempat dijatuhkan, dengan duka yang diam-diam
berakar di dalam dada, tumbuh menjadi pohon sepi yang daunnya tak gugur meski
musim telah berganti.
Ada
masa ketika keheningan menjadi satu-satunya bahasa yang dimengerti semesta.
Pada saat itulah takdir mendekat, seperti angin lembut yang menyibak rambutmu
pada senja yang diam, menyusup ke dalam lipatan kesendirianmu, lalu berbisik
pelan tanpa suara, menyampaikan sesuatu yang tak mampu dijelaskan oleh
kata-kata. Ia hadir, seperti hujan pertama di ujung musim kemaraubukan untuk
menenggelamkan, tapi untuk menyapa, dengan aroma tanah yang terbangun dari
tidur panjangnya, aroma yang entah bagaimana membuatmu ingin menangis tanpa
alasan.
Seperti
itulah hidup berjalan. Tidak lurus, tidak tegas, tidak rapi. Bukan garis dari
rencana menuju pencapaian, tapi labirin yang berkelok-kelok, penuh bayangan
yang menyesatkan dan lorong yang tampak buntu. Setiap sudutnya adalah
teka-teki, dan setiap pintunya adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan
kepastian. Dan pintu-pintu itu… ah, mereka tak akan terbuka hanya dengan
kekuatan. Mereka hanya terbuka saat kau merelakan. Saat kau menyerahkan kunci
yang selama ini kau genggam eratkunci yang kau pikir menyelamatkanmu, padahal
justru mengurungmu.
Dalam
malam-malam tertentu, di bawah langit yang terlalu diam, kau akan merasakan
sesuatu yang bergerakbukan di luar dirimu, tapi di dalam. Sesuatu yang nyaris
tak terdengar, seperti desir daun yang disentuh angin, seperti suara ombak yang
memanggil dari kejauhan. Itu bukan suara dunia. Itu adalah suara takdir yang
berbisik, bukan di telingamu, tapi di relung hatimu yang paling lelah, yang
paling rapuh… namun juga yang paling jujur.
Dan
di saat seperti itulah, kita belajar. Bahwa mungkin luka bukan musuh. Bahwa
mungkin kehampaan bukan kutukan. Bahwa mungkin penantian adalah ruang suci yang
diciptakan semesta agar kita bisa benar-benar melihat diri kita sendiri, tanpa
cermin, tanpa topeng, tanpa penghakiman.
Copyrigh Nono Sugiono
0 Response to "Membaca dengan Luka, Bukan Mata"
Posting Komentar