Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

PREMANISME DAN PEREKONOMIAN INDONESIA


Premanisme merupakan suatu praktik kekuasaan informal yang dijalankan oleh individu atau kelompok tertentu yang sering disebut sebagai preman. Dalam konteks sosial Indonesia, preman bukan sekadar seseorang yang kasar atau bertindak anarkis, tetapi memiliki makna lebih luas sebagai aktor informal yang menjalankan kontrol sosial dan ekonomi secara tidak sah di suatu wilayah atau sektor.

Premanisme mencakup serangkaian tindakan yang dilakukan tanpa dasar hukum formal, dan biasanya dilandasi oleh penggunaan ancaman, kekerasan fisik atau verbal, intimidasi psikologis, dan relasi kuasa yang bersifat koersif. Praktik ini ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, kendali sosial, maupun kekuasaan teritorial. Premanisme bisa berbentuk pemalakan (pemungutan uang secara paksa), penguasaan lahan atau wilayah tertentu, pengaturan distribusi barang dan jasa, serta campur tangan dalam konflik sosial demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Ciri-Ciri Premanisme:

  1. Tidak memiliki legalitas hukum, namun memiliki kekuatan sosial.
  2. Mengandalkan kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai alat kontrol.
  3. Beroperasi di wilayah "abu-abu" antara legal dan ilegal, seringkali dalam ekonomi informal.
  4. Memiliki struktur organisasi informal, kadang hierarkis seperti geng atau kelompok ormas.
  5. Dalam banyak kasus, memiliki hubungan patron-klien dengan aktor formal seperti pejabat, aparat, atau pengusaha.

PREMANISME DALAM KONTEKS EKONOMI INFORMAL

Premanisme sering kali berkembang di sektor-sektor ekonomi informal seperti terminal angkutan umum, pasar tradisional, pelabuhan, kawasan parkir liar, atau proyek konstruksi. Dalam konteks ini, preman mengambil peran sebagai "pengelola" atau "pengatur" wilayah, meskipun tanpa dasar hukum, dan melakukan pemungutan uang keamanan, uang jatah, atau uang lapak dari pedagang atau pengusaha kecil.

Contoh:

Seorang preman di terminal bus menarik pungutan dari setiap sopir angkot sebesar Rp 5.000 per hari dengan dalih "uang keamanan", padahal uang tersebut tidak disetorkan ke instansi resmi, melainkan digunakan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Sopir yang menolak membayar sering diintimidasi atau kendaraannya dirusak.

1.      Premanisme dan Hubungannya dengan Aktor Formal

Salah satu aspek yang membedakan premanisme dari kejahatan jalanan biasa adalah kemampuannya menjalin hubungan dengan aktor-aktor formal. Dalam banyak kasus, preman bertindak sebagai "tangan kotor" dari oknum pejabat, politisi, aparat keamanan, atau pengusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bisa mereka lakukan secara langsung.

Contoh Konkret:

  • Di beberapa daerah, preman digunakan oleh calon legislatif untuk menekan lawan politik atau memobilisasi massa saat kampanye.
  • Preman lokal dipekerjakan oleh pengusaha properti untuk mengintimidasi warga agar mau menjual tanah mereka dengan harga murah.
  • Beberapa ormas kepemudaan yang memiliki afiliasi politik bertindak seperti premanisme terorganisir dengan seragam, dan turut serta dalam proyek-proyek pengamanan yang disubkontrakkan secara tidak resmi.

2.      Premanisme sebagai Gejala Sosial

Premanisme bukan sekadar kejahatan individual, tetapi merupakan gejala sosial yang kompleks. Ia muncul dari kesenjangan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan budaya kekuasaan informal. Di masyarakat yang mengalami ketimpangan ekonomi tinggi, lemahnya otoritas hukum, dan tingginya angka pengangguran, premanisme sering menjadi "pekerjaan alternatif" yang menjanjikan kekuasaan dan penghasilan.

Selain itu, premanisme juga merupakan bentuk dari kontrol sosial alternatif, di mana masyarakat terkadang lebih takut atau tunduk kepada preman daripada aparat hukum resmi. Hal ini terjadi karena preman dianggap lebih "efektif", cepat tanggap, dan memiliki jaringan kekuasaan yang luas—meski operasinya penuh kekerasan dan intimidasi.

BENTUK-BENTUK PREMANISME DALAM EKONOMI

Premanisme dalam konteks ekonomi Indonesia merupakan manifestasi dari kekuasaan informal yang menyusup ke dalam aktivitas ekonomi masyarakat, baik di sektor informal maupun formal, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui ancaman, intimidasi, dan kontrol paksa terhadap alur kegiatan ekonomi. Preman tidak memiliki kewenangan hukum, tetapi memaksakan peran seolah-olah mereka adalah pengatur, pelindung, atau penengah dalam aktivitas ekonomi, dan biasanya dengan imbalan berupa pungutan liar atau akses ke sumber daya.

Berikut adalah bentuk-bentuk umum premanisme yang sering muncul dalam konteks ekonomi di Indonesia:

1. Preman Pasar

Preman pasar adalah salah satu bentuk paling umum dari premanisme ekonomi, di mana individu atau kelompok memungut “uang keamanan” dari para pedagang pasar, baik secara harian, mingguan, atau bulanan, tanpa dasar hukum dan tidak melalui lembaga resmi seperti dinas pasar.

Ciri-ciri:

  • Beroperasi di pasar tradisional.
  • Menyasar pedagang kecil, PKL, dan pemilik kios.
  • Mengancam pedagang yang menolak membayar.

Contoh:

Di Pasar Tanah Abang, Jakarta, sekelompok preman memungut Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per hari dari setiap pedagang kaki lima dengan dalih "uang kebersihan dan keamanan". Padahal, kebersihan dan keamanan pasar merupakan tanggung jawab pengelola resmi dan petugas dari Pemda.

Dampak:

  • Meningkatkan beban ekonomi pedagang kecil.
  • Menimbulkan ketakutan, membuat pedagang tunduk pada kekuasaan informal.
  • Menghambat upaya revitalisasi dan legalisasi sektor informal oleh pemerintah.

2. Preman Proyek

Preman proyek merujuk pada individu atau kelompok yang memaksa untuk dilibatkan dalam kegiatan pembangunan fisik (konstruksi, infrastruktur, dll.), biasanya tanpa kompetensi teknis, dan bertindak sebagai "penjaga proyek", "penyuplai tenaga kerja", atau bahkan "pengaman lokasi".

Ciri-ciri:

  • Muncul saat ada proyek pembangunan gedung, jalan, jembatan, dll.
  • Mengancam pelaksana proyek jika tidak melibatkan mereka.
  • Kadang bertindak sebagai subkontraktor informal.

Contoh:

Di suatu proyek pembangunan jalan di daerah Bekasi, sekelompok preman memaksa kontraktor utama untuk "menyewa" tenaga kerja dari kelompok mereka, meskipun pekerja tersebut tidak memiliki keahlian. Bila tidak dipenuhi, mereka mengancam akan menghentikan proyek atau merusak alat berat.

Dampak:

  • Menurunkan kualitas pelaksanaan proyek.
  • Menambah biaya yang tidak terencana (extortion cost).
  • Menimbulkan ketergantungan pada penguasa lokal non-formal.

3. Preman Angkutan

Preman angkutan sering muncul di terminal, pangkalan ojek, dan jalur trayek angkutan umum. Mereka memungut pungutan liar (pungli) dari sopir angkot, truk, ojek, atau kendaraan umum lainnya.

Ciri-ciri:

  • Seringkali “berpakaian seperti juru parkir” atau petugas terminal informal.
  • Tidak memiliki afiliasi resmi dengan Dinas Perhubungan.
  • Menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap sopir yang menolak.

Contoh:

Di Terminal Grogol, Jakarta Barat, beberapa sopir angkot mengeluhkan adanya pungli harian sebesar Rp 20.000 hingga Rp 50.000 untuk “uang jalur” agar diperbolehkan beroperasi di wilayah tertentu. Jika tidak dibayar, kendaraan mereka bisa dirusak atau dipersulit saat menunggu penumpang.

Dampak:

  • Membebani operasional angkutan umum.
  • Menyebabkan tarif angkutan meningkat bagi penumpang.
  • Menurunkan kualitas pelayanan transportasi publik.

4. Preman Kawasan Industri dan Pelabuhan

Preman dalam kawasan industri atau pelabuhan sering mengambil peran sebagai “pengatur logistik” yang tidak sah. Mereka mempengaruhi distribusi barang dan jasa dengan mengendalikan akses keluar-masuk truk, kontainer, atau gudang, bahkan menagih “uang jalan” dari sopir truk logistik.

Ciri-ciri:

  • Beroperasi di kawasan pelabuhan, pergudangan, dan zona industri.
  • Mengklaim penguasaan atas jalur distribusi tertentu.
  • Terkadang bekerja sama dengan oknum aparat.

Contoh:

Di Pelabuhan Tanjung Priok, beberapa kelompok preman memungut "uang lancar" dari sopir truk kontainer agar proses pengambilan dan pengantaran barang bisa dilakukan tanpa hambatan. Besarnya pungutan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per muatan.

Dampak:

  • Meningkatkan biaya logistik nasional (logistic cost).
  • Menyebabkan inefisiensi distribusi barang dan keterlambatan pengiriman.
  • Merusak iklim investasi di sektor industri dan logistik.

5. Premanisme Politik

Premanisme politik muncul ketika kekuatan preman digunakan oleh aktor politik untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mobilisasi massa, tekanan terhadap lawan politik, intimidasi saat kampanye, atau pengaruh terhadap hasil pemilu.

Ciri-ciri:

  • Preman bekerja atas perintah atau dibayar oleh tokoh politik atau partai.
  • Muncul saat pemilu, kampanye, atau pemilihan kepala daerah.
  • Bisa terlibat dalam kekerasan, pengerahan massa, hingga sabotase.

Contoh:

Dalam pilkada suatu kabupaten di Jawa Tengah, salah satu calon kepala daerah menggunakan kelompok ormas berseragam yang dikenal bertindak premanis untuk memobilisasi pemilih dan mengintimidasi relawan lawan politik. Mereka menurunkan baliho kampanye lawan dan melakukan sweeping di desa-desa.

Dampak:

  • Mengancam integritas demokrasi.
  • Mengintimidasi pemilih dan memperburuk partisipasi politik.
  • Menciptakan ketegangan sosial pasca pemilu.

Analisis Umum dan Implikasi

Premanisme dalam ekonomi Indonesia menunjukkan bagaimana kekuasaan informal bisa menyusup ke berbagai lini kehidupan ekonomi. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor struktural, antara lain:

  • Ketimpangan ekonomi dan pengangguran, yang menjadikan premanisme sebagai "mata pencaharian".
  • Lemahnya penegakan hukum, yang menciptakan ruang abu-abu untuk kekuasaan non-formal.
  • Koneksi politik dan aparat, yang memperkuat posisi preman dalam struktur kekuasaan.

Premanisme menambah biaya transaksi ekonomi secara tidak produktif dan menciptakan ekosistem yang rawan konflik dan ketidakpastian hukum. Lebih jauh lagi, ia melemahkan posisi pelaku usaha kecil dan mencederai prinsip keadilan ekonomi.

DAMPAK PREMANISME TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Premanisme dalam konteks ekonomi Indonesia tidak hanya berdampak pada pelaku usaha mikro dan kecil secara langsung, tetapi juga menciptakan efek sistemik yang mengganggu iklim bisnis, investasi, dan efisiensi ekonomi nasional. Premanisme menumbuhkan jaringan kekuasaan informal yang paralel dengan institusi hukum formal negara, yang berakibat pada penurunan kepercayaan terhadap sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

a. Dampak Negatif Premanisme terhadap Perekonomian

1. Tingginya Biaya Ekonomi Informal

Premanisme menimbulkan biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), berupa pungutan liar, upeti, atau "uang keamanan" yang tidak memiliki dasar hukum dan tidak tercatat dalam sistem keuangan resmi.

Penjelasan:

  • Pelaku UMKM yang seharusnya fokus pada produksi, distribusi, dan pelayanan, harus menyisihkan dana untuk membayar kelompok preman agar dapat beroperasi dengan “aman”.
  • Biaya ini seringkali bersifat harian atau mingguan, dan cenderung meningkat tanpa kontrol.

Contoh:

Pedagang kaki lima di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, mengaku harus membayar Rp 15.000–Rp 30.000 setiap hari kepada “koordinator lapangan” (yang sebenarnya adalah preman) agar dapat tetap berjualan di lokasi strategis. Jika tidak dibayar, mereka akan diusir, atau lapaknya dirusak.

Implikasi:

  • Mengurangi margin keuntungan usaha kecil.
  • Menghambat pertumbuhan UMKM secara sistematis.
  • Menimbulkan ketimpangan antara pedagang yang “berani bayar” dan yang tidak.

2. Distorsi Pasar

Premanisme menyebabkan ketidakseimbangan dalam persaingan usaha. Pelaku usaha yang berafiliasi dengan kelompok preman atau membayar perlindungan ekstra seringkali mendapatkan perlakuan istimewa atau bahkan menyerang pesaingnya secara fisik atau psikologis.

Penjelasan:

  • Dalam kondisi ini, keberhasilan usaha tidak lagi bergantung pada kualitas produk atau efisiensi, tetapi pada sejauh mana pelaku usaha dapat membangun koneksi informal dengan penguasa jalanan.
  • Preman menjadi alat kontrol wilayah ekonomi tertentu secara eksklusif.

Contoh:

Dalam kasus beberapa warung makan di Yogyakarta, pemilik yang menolak "bergabung" dengan jaringan pengaman lokal menghadapi intimidasi seperti sabotase dapur, pencurian bahan baku, hingga pemaksaan tutup usaha. Sementara pesaingnya yang membayar perlindungan preman tetap aman dan didukung oleh kelompok tersebut.

Implikasi:

  • Mengganggu mekanisme pasar bebas.
  • Menurunkan semangat kewirausahaan yang sehat.
  • Mematikan bisnis kecil yang tidak ingin atau tidak mampu "bermain kotor".

3. Menurunkan Minat Investasi

Ketika iklim usaha terganggu oleh ketidakpastian hukum dan keamanan, para investor, baik lokal maupun asing, menjadi ragu untuk menanamkan modal. Premanisme memperkuat citra bahwa hukum tidak dijalankan secara adil dan perlindungan terhadap investor tidak terjamin.

Penjelasan:

  • Investor membutuhkan kepastian hukum, perlindungan aset, dan keamanan operasional.
  • Premanisme menimbulkan ancaman terhadap ketiga aspek tersebut.

Contoh:

Beberapa investor Jepang dan Korea yang ingin menanamkan modal di kawasan industri Karawang mengurungkan niat setelah mengetahui bahwa distribusi logistik sering terganggu oleh kelompok pemalak jalanan yang meminta "uang jalan" pada truk kontainer dan alat berat.

Implikasi:

  • Menurunkan indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).
  • Menghambat masuknya investasi asing langsung (FDI).
  • Mengurangi potensi penciptaan lapangan kerja baru.

4. Merusak Tata Kelola Ekonomi

Premanisme menciptakan sistem ekonomi informal yang paralel dan berjejaring, di mana pengambilan keputusan, distribusi sumber daya, dan pelaksanaan proyek tidak lagi hanya ditentukan oleh otoritas formal, tetapi juga oleh kekuatan informal (preman, ormas, dll.) yang melakukan korupsi mikro secara sistemik.

Penjelasan:

  • Preman sering menjadi perpanjangan tangan oknum birokrat atau politisi yang menggunakan kekuatan informal ini untuk mengatur distribusi proyek dan anggaran.
  • Muncul “tata kelola bayangan” yang mengaburkan jalur akuntabilitas.

Contoh:

Dalam proyek drainase perkotaan di Makassar, LSM menemukan bahwa pengadaan tenaga kerja kasar dikuasai oleh kelompok lokal yang menggunakan intimidasi untuk mendapatkan fee dan pekerjaan, tanpa prosedur lelang atau seleksi terbuka.

Implikasi:

  • Menurunkan efektivitas kebijakan ekonomi pemerintah.
  • Menciptakan korupsi struktural di tingkat bawah.
  • Melemahkan institusi negara dan supremasi hukum.

5. Menurunnya Produktivitas Tenaga Kerja

Lingkungan kerja yang dipenuhi ancaman, intimidasi, dan ketidakamanan menyebabkan menurunnya semangat kerja, efisiensi, dan loyalitas tenaga kerja. Ketakutan akan gangguan dari preman menghambat proses kerja, terutama di sektor informal dan proyek fisik.

Penjelasan:

  • Pekerja merasa tidak nyaman bekerja di lingkungan yang rawan gangguan.
  • Terjadi stress kerja, ketidakhadiran (absensi tinggi), dan turnover yang tinggi.

Contoh:

Dalam proyek pembangunan jalan tol Sumatera, para pekerja lapangan sempat mogok kerja karena takut berhadapan dengan kelompok lokal yang meminta jatah tenaga kerja dan melakukan intimidasi terhadap supervisor proyek.

Implikasi:

  • Menurunnya output dan efisiensi tenaga kerja.
  • Bertambahnya waktu penyelesaian proyek.
  • Menurunnya kualitas hasil pekerjaan.

b. Dampak Positif (Secara Kontekstual dan Terbatas)

Meskipun dominan berdampak negatif, dalam konteks wilayah yang sangat lemah dalam penegakan hukum, kehadiran kelompok preman kadang dipersepsikan memberikan stabilitas tertentu. Namun ini adalah bentuk kompensasi dari absennya negara, dan bukan solusi jangka panjang yang sehat.

1. Menjadi Pelindung bagi Kelompok Masyarakat Tertentu

Dalam beberapa kasus, kelompok preman lokal bertindak sebagai penjaga atau pelindung komunitasnya dari kelompok preman lain yang lebih ganas atau dari aparat yang dianggap menindas.

Contoh:

Di kawasan permukiman padat di Surabaya, warga menyatakan bahwa mereka “dilindungi” oleh tokoh preman lokal dari ancaman pemalakan oleh kelompok luar. Mereka bahkan membantu menjaga ketertiban lingkungan dan menyelesaikan konflik antarwarga.

2. Menyediakan "Jasa Keamanan" Ketika Negara Absen

Di daerah terpencil atau urban slum yang tidak dijangkau oleh aparat keamanan negara, beberapa kelompok preman mengambil peran sebagai pengaman lingkungan, walaupun dilakukan tanpa mekanisme legal.

Contoh:

Di pinggiran kota Medan, kelompok informal yang berisi mantan preman bertindak sebagai penjaga malam sukarela dan meminta "uang keamanan" dari warga yang secara sadar membayarnya karena menganggap tidak ada kehadiran polisi.

Catatan Kritis:

Kehadiran preman sebagai “penjaga stabilitas” bukanlah legitimasi bagi keberadaan mereka. Justru ini menjadi indikator kegagalan negara dalam membangun sistem keamanan dan penegakan hukum yang merata. Solusi jangka panjang tetap harus melibatkan:

  • Reformasi kepolisian.
  • Penguatan UMKM secara legal.
  • Pemberantasan pungli secara sistematis.

FAKTOR PENYEBAB MARAKNYA PREMANISME DALAM EKONOMI

Premanisme dalam konteks ekonomi mengacu pada praktik-praktik kekuasaan informal, pemaksaan, pemalakan, dan bentuk-bentuk kekerasan ekonomi yang dilakukan di luar sistem hukum formal. Premanisme bisa mengakar karena berbagai faktor struktural, sosial, dan politik. Di Indonesia, keberadaan premanisme telah menjadi bagian dari “ekonomi bayangan” yang sulit diberantas sepenuhnya. Berikut ini beberapa penyebab utama yang memperkuat dan memperluas praktik premanisme:

1. Kelemahan Penegakan Hukum dan Keamanan

Penjelasan:
Ketiadaan atau lemahnya keberadaan aparat hukum di wilayah tertentu — baik karena kurangnya sumber daya, minimnya pengawasan, atau korupsi — membuat kekuatan non-negara seperti kelompok preman mengambil alih fungsi kontrol dan keamanan. Ini memperkuat posisi mereka sebagai “pengatur” ekonomi setempat, terutama di area seperti pasar tradisional, terminal, pelabuhan, dan proyek konstruksi.

Contoh:
Di banyak pasar tradisional di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, pedagang dipaksa membayar uang keamanan harian kepada oknum preman. Jika menolak, barang dagangan bisa disita atau mereka bisa diintimidasi. Aparat setempat kerap tidak bertindak karena preman memiliki “akses” ke institusi penegak hukum.

2. Tingginya Pengangguran dan Kemiskinan

Penjelasan:
Kondisi ekonomi yang sulit, terutama di kalangan masyarakat urban miskin dan desa tertinggal, mendorong sebagian orang mencari penghidupan dengan cara cepat dan mudah. Premanisme menjadi "solusi pragmatis" untuk bertahan hidup, terutama karena tidak memerlukan pendidikan formal atau keterampilan khusus.

Contoh:
Banyak anak muda di pinggiran kota besar yang putus sekolah kemudian menjadi juru parkir liar, debt collector, atau calo proyek dengan menggunakan ancaman sebagai alat kerja. Di beberapa daerah, geng pemuda yang dibentuk awalnya untuk solidaritas kemudian berkembang menjadi kelompok pemalak atau pengendali wilayah distribusi logistik lokal.

3. Korupsi dan Kolusi

Penjelasan:
Premanisme bisa berkembang subur karena dilindungi atau bahkan diorkestrasi oleh oknum pejabat atau aparat hukum yang bekerja sama demi keuntungan bersama. Dalam kasus seperti ini, preman menjadi alat informal untuk menegakkan kepentingan kelompok elite atau menjadi bagian dari jejaring kekuasaan informal.

Contoh:
Kasus penguasaan parkir liar atau terminal bayangan di kota-kota besar sering kali tidak bisa diberantas karena ada “setoran” rutin ke oknum aparat atau pejabat. Dalam beberapa kasus proyek pembangunan infrastruktur, preman dikerahkan oleh kontraktor atau pengusaha untuk "mengamankan lahan" dan mengintimidasi warga yang menolak ganti rugi.

4. Ketimpangan Ekonomi dan Sosial

Penjelasan:
Ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi — seperti tanah, modal, dan kesempatan kerja — mendorong frustrasi sosial. Bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan, hukum formal dipandang hanya berpihak pada kaum elite. Hal ini menciptakan kondisi di mana premanisme dianggap sebagai cara "melawan ketidakadilan" atau merebut akses secara informal.

Contoh:
Di beberapa wilayah Indonesia, sekelompok masyarakat miskin kota menjadikan pungutan liar dari proyek pembangunan atau logistik pasar sebagai "kompensasi" atas keterpinggiran mereka. Dalam konflik agraria, preman kadang diposisikan sebagai "pembela rakyat" melawan pengusaha atau aparat negara, meskipun dalam praktiknya tetap menggunakan kekerasan dan intimidasi.

5. Lemahnya Organisasi Masyarakat Sipil dan Serikat Pekerja

Penjelasan:
Jika masyarakat tidak memiliki organisasi yang kuat untuk memperjuangkan hak-haknya secara legal, maka celah itu akan diisi oleh kekuatan informal. Lemahnya serikat pekerja, LSM, koperasi, dan forum warga menjadikan masyarakat bawah tidak punya wadah perlindungan kolektif, dan lebih mudah tunduk atau bekerja sama dengan kelompok preman.

Contoh:
Buruh harian lepas di sektor informal — seperti angkutan umum, proyek bangunan, atau pasar — cenderung tidak terorganisir. Ketika terjadi sengketa upah atau pemalakan, mereka tidak punya tempat mengadu. Dalam kondisi ini, preman lokal bisa memanfaatkan ketidakberdayaan tersebut untuk mendominasi dan memeras.

UPAYA PENANGGULANGAN PREMANISME DALAM PEREKONOMIAN

Premanisme dalam ekonomi bukan hanya persoalan kriminalitas semata, tetapi merupakan manifestasi dari persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kelembagaan yang kompleks. Oleh karena itu, penanggulangannya harus dilakukan secara sistemik dan terintegrasi. Berikut ini adalah beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan untuk menanggulangi premanisme di sektor ekonomi:

1. Penegakan Hukum Tegas dan Transparan oleh Aparat Kepolisian dan Kejaksaan

Penegakan hukum yang adil, tanpa diskriminasi, dan bebas dari intervensi politik adalah fondasi utama dalam pemberantasan premanisme. Aparat kepolisian dan kejaksaan harus bertindak berdasarkan hukum, bukan relasi atau kepentingan tertentu. Keterlibatan oknum aparat dalam jaringan premanisme harus diputus secara tegas dan dibuka ke publik.

Contoh:
Pada 2021, Polda Metro Jaya melakukan operasi besar-besaran terhadap preman pasar dan terminal di wilayah Jabodetabek. Dalam operasi tersebut, ratusan preman ditangkap, termasuk yang berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas). Namun, penindakan seperti ini harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya sebagai respons sesaat terhadap tekanan publik atau media.

2. Peningkatan Kesejahteraan dan Penciptaan Lapangan Kerja yang Layak

Premanisme sering kali menjadi "jalur ekonomi alternatif" bagi mereka yang tidak mendapat akses terhadap pekerjaan layak. Oleh karena itu, penyediaan lapangan kerja produktif melalui program padat karya, UMKM, dan pelatihan keterampilan menjadi strategi jangka panjang yang vital.

Contoh:
Pemerintah daerah dapat menciptakan program pelatihan kerja bagi mantan preman atau anak jalanan, seperti pelatihan mekanik motor, kuliner, atau digital marketing. Di Surabaya, misalnya, terdapat inisiatif konversi juru parkir liar menjadi petugas parkir resmi melalui kerja sama dengan Dishub dan koperasi warga.

3. Revitalisasi Pasar dan Terminal agar Lebih Transparan dan Aman

Pasar tradisional dan terminal angkutan umum adalah titik-titik rawan premanisme. Oleh karena itu, dibutuhkan pembenahan infrastruktur, manajemen, dan sistem pengawasan berbasis teknologi agar tidak ada ruang bagi praktik pungli dan pemerasan.

Contoh:
Modernisasi pasar dengan penggunaan sistem pembayaran non-tunai, pemasangan CCTV, dan pengelolaan manajemen oleh koperasi pedagang bisa mengurangi ruang gerak preman. Pasar Beringharjo di Yogyakarta menjadi contoh bagaimana pasar tradisional yang tertib bisa mengurangi kehadiran kekuatan informal yang merugikan pedagang.

4. Peningkatan Pengawasan Proyek Infrastruktur oleh Pemerintah

Proyek pembangunan, khususnya konstruksi, sering menjadi sasaran kelompok preman yang memaksa dilibatkan sebagai "penjaga proyek" atau "penyedia tenaga kasar." Pengawasan dan transparansi dalam tender dan pelaksanaan proyek sangat diperlukan untuk mencegah intervensi premanisme.

Contoh:
Kementerian PUPR dapat mensyaratkan semua kontraktor proyek pemerintah bekerja sama dengan penyedia jasa keamanan resmi yang memiliki sertifikasi dan terdaftar. Penggunaan sistem tender elektronik dan laporan berkala kepada publik juga membantu meminimalkan intervensi eksternal.

5. Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pelaku Usaha Kecil

Banyak pelaku usaha kecil terpaksa bekerja sama atau membayar “uang keamanan” kepada preman karena tidak memiliki perlindungan hukum atau dukungan dari negara. Maka, penguatan kelembagaan ekonomi lokal seperti koperasi, paguyuban pedagang, dan forum warga sangat penting.

Contoh:
Pembentukan forum pedagang pasar yang bekerja sama dengan Satpol PP dan kepolisian lokal dapat menciptakan sistem pelaporan cepat bila ada pungli atau intimidasi. Di Bandung, terdapat beberapa pasar yang membentuk “tim keamanan internal” berbasis warga dan dilatih oleh aparat resmi.

6. Kolaborasi Lintas Sektor: Pemerintah, LSM, Akademisi, dan Dunia Usaha

Penanggulangan premanisme memerlukan pendekatan kolaboratif lintas sektor. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan LSM yang memahami dinamika lokal, akademisi yang menyediakan basis data dan evaluasi, serta dunia usaha yang punya kepentingan terhadap iklim usaha yang sehat.

Contoh:
Program CSR perusahaan-perusahaan besar bisa diarahkan untuk menciptakan pusat pelatihan kerja atau inkubator bisnis di wilayah rawan premanisme. LSM seperti Yayasan Bahtera di Jakarta telah bekerja sama dengan kampus-kampus untuk mendampingi remaja berisiko agar tidak masuk dunia kekerasan jalanan.

Studi Kasus: Premanisme dan Ekonomi Lokal

Premanisme merupakan salah satu bentuk kekuatan informal yang berkembang dalam ruang-ruang ekonomi yang lemah secara tata kelola dan pengawasan. Ia hadir bukan semata karena niat jahat individu, tetapi juga karena struktur ekonomi dan sosial yang memberikan ruang untuk kekuasaan non-formal mengambil alih kontrol. Berikut ini dua studi kasus nyata dari Indonesia yang menunjukkan bagaimana premanisme mengintervensi sektor ekonomi lokal:

a. Pasar Tanah Abang, Jakarta

Pasar Tanah Abang merupakan salah satu pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Aktivitas ekonomi di kawasan ini melibatkan ribuan pedagang dan pekerja, baik formal maupun informal. Namun, selama bertahun-tahun, kawasan ini juga dikenal sebagai salah satu titik rawan praktik premanisme dan pungutan liar.

Dinamika Premanisme:

Preman di Tanah Abang tidak hanya berperan sebagai "juru parkir liar" atau "penarik uang keamanan", tetapi juga sebagai pengatur zona dagang. Banyak pedagang kecil, khususnya pedagang kaki lima (PKL), harus membayar harian kepada kelompok preman untuk bisa membuka lapak di trotoar, bahkan di pinggir jalan umum. Besaran pungutan bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah per hari.

Preman juga berperan sebagai "penguasa wilayah" dengan membentuk semacam sistem informal, bahkan kadang mengklaim sebagai bagian dari organisasi masyarakat tertentu. Hal ini menciptakan ketergantungan struktural: pedagang merasa harus "berdamai" dengan preman agar bisa berdagang dengan aman.

Dampak Ekonomi Lokal:

  • Distorsi harga sewa lapak: karena ada sewa tidak resmi yang ditarik oleh preman, biaya operasional pedagang membengkak.
  • Ketidakpastian hukum: karena ada intervensi kekuatan informal, pedagang tidak bisa mengandalkan perlindungan hukum secara formal.
  • Kekacauan lalu lintas dan tata kota: karena preman memfasilitasi PKL di lokasi-lokasi terlarang, kondisi lalu lintas dan fasilitas umum terganggu.

Langkah Penertiban:

Pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan kemudian dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilakukan penertiban besar-besaran di kawasan Tanah Abang. PKL direlokasi ke gedung Blok G dan fasilitas perdagangan resmi lainnya.

Pemprov DKI juga bekerja sama dengan kepolisian untuk menangkap preman-preman yang memungut pungli. Penertiban ini sempat menimbulkan gesekan sosial, tetapi pada akhirnya berhasil menciptakan ruang publik yang lebih tertib dan memperbaiki iklim usaha lokal.

Contoh Nyata:

Pedagang seperti Ibu Murni, yang sebelumnya harus membayar Rp50.000 per hari ke oknum preman, menyatakan bahwa setelah penertiban, ia bisa menyimpan lebih banyak keuntungan dan merasa lebih aman berjualan.

b. Pelabuhan Tanjung Priok

Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan tersibuk di Indonesia, menjadi pintu utama ekspor-impor nasional. Efisiensi logistik di pelabuhan ini sangat menentukan daya saing ekonomi Indonesia, terutama dalam konteks global supply chain.

Dinamika Premanisme dan Oknum:

Selama bertahun-tahun, Pelabuhan Tanjung Priok dikenal sebagai tempat yang penuh dengan pungutan liar. Premanisme di sini lebih kompleks karena melibatkan kolusi antara pekerja pelabuhan, sopir truk, aparat keamanan, dan oknum pegawai instansi.

Preman-preman bekerja sebagai "pengatur lajur" atau "penjaga keamanan truk". Mereka memungut biaya untuk mempercepat antrean truk masuk pelabuhan, "mengamankan" dokumen ekspor-impor, atau sekadar memberi "jalan lancar".

Dampak terhadap Ekonomi:

  • Meningkatnya biaya logistik nasional: Pungutan liar dan lambatnya arus barang membuat biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, berkisar 23% dari PDB.
  • Menurunnya kepercayaan investor asing: Ketika sistem pelabuhan tidak efisien dan sarat praktik informal, investor logistik dan manufaktur enggan membangun basis produksi di Indonesia.
  • Keterlambatan distribusi: Ketika truk tertahan karena tidak membayar "uang jalan", distribusi barang ke berbagai daerah terhambat.

Langkah Reformasi:

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo II, melakukan reformasi besar-besaran sejak 2015. Beberapa langkah antara lain:

  • Digitalisasi sistem bongkar muat dan manajemen antrean truk (inaportnet).
  • Penertiban terhadap pungli oleh aparat.
  • Penerapan sistem "truck tracking" dan pelatihan terhadap petugas pelabuhan.

Contoh Nyata:

Setelah sistem digital diberlakukan, antrean truk yang sebelumnya bisa mengular berhari-hari kini menjadi lebih teratur. Perusahaan logistik seperti Samudera Indonesia melaporkan adanya penurunan signifikan dalam waktu tunggu kontainer.

Daftar Pustaka

3.      Komnas HAM (2019). Laporan Kekerasan dalam Ekonomi Informal Indonesia.

4.      Tempo (2021). Laporan Investigasi: Premanisme di Pasar Tradisional.

5.      Soesilo, R. (2020). Hukum Pidana Tentang Premanisme dan Kekerasan Jalanan. Jakarta: Prenada Media.

6.      LIPI. (2018). Ekonomi Informal dan Ketimpangan Sosial di Perkotaan.

7.      Bayat, A. (2000). From Dangerous Classes to Quiet Rebels: Politics of the Urban Subaltern in the Global South. International Sociology.

8.      Davis, M. (2006). Planet of Slums. London: Verso Books.

9.      World Bank. (2019). Doing Business Report: Indonesia Country Profile.

10.  International Labour Organization (ILO). (2013). Transition from the Informal to the Formal Economy Recommendation.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PREMANISME DAN PEREKONOMIAN INDONESIA"

Posting Komentar