Sarana belajar yang memadukan teori akademis dengan pendekatan praktis dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman konseptual dan penerapannya di dunia nyata. Serta memberikan kerangka berpikir yang kuat melalui teori-teori dasar, sementara praktiknya memberikan wawasan tentang bagaimana konsep tersebut digunakan dalam konteks nyata.

Pendekatan Gaya Kepemimpinan (The Style Approach)


Pendahuluan
Teori tentang gaya kepemimpinan berusaha mengkaji perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi dan/atau menggerakkan para pengikutnya guna mencapai suatu tujuan. Perilaku dan tindakan tersebut pada dasarnya dapat dipahami sebagai dua hal berbeda tetapi saling bertautan, yakni (1) fokus terhadap penyelesaian tugas (pekerjaan) atau task/production-centered; dan (2) fokus pada upaya pembinaan terhadap personil yang melaksanakan tugas/pekerjaan tersebut (people/employee-centered).

Lewin, Lippitt, dan White (Dunford, 1995), pada tahun 30-an melakukan studi terkait dengan tingkat keketatan pengendalian, dan melahirkan terminologi gaya kepemimpinan autocratic, democratic, dan laissez-faire.
  1. Kepemimpinan otokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang tinggi tanpa kebebasan dan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan. Pemimpin bersifat otoriter, tidak bersedia mendelegasikan weweang dan tidak menyukai partisipasi anggota.
  2. Kepemimpinan demokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang longgar, namun pemimpin sangat aktif dalam menstimulasi diskusi kelompok dan pengambilan keputusan kelompok, kebijakan atau keputusan diambil bersama, komunikasi berlangsung timbal balik, dan prakarsa dapat berasal dari pimpinan maupun dari anggota.
  3. Kepemimpinan laissez-faire, menyerahkan atau membiarkan anggota untuk mengambil keputusan sendiri, pemimpin memainkan peran pasif, dan hampir tidak ada pengendalian/pengawasan, sehingga keberhasilan organisasi ditentukan oleh individu atau orang per orang.
Selanjutnya House & Mitchell ( Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 2000) mengembangkan Path Goal Theory. Menurut teori ini, pemimpin harus meningkatkan ketersediaan jumlah dan jenis penghargaan bagi pegawai; dan selanjutnya memberikan petunjuk dan bimbingan untuk menjelaskan cara-cara untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Berdasarkan tindakan pimpinan dalam memotivasi dan memberikan penjelasan kepada pegawai maka dikenal adanya kepemimpinan directive, supportive, participative, dan achievement oriented.
  1. Kepemimpinan direktif, yakni pemimpin memberikan arahan tentang sasaran, target dan cara-cara untuk mencapainya secara rinci dan jelas; tidak ada ruang untuk diskusi dan partisipasi pegawai.
  2. Kepemimpinan suportif, menempatkan pemimpin sebagai “sahabat” bagi bawahan, dengan memberikan dukungan material, finansial, atau moral; serta peduli terhadap kesejahteraan pegawai.
  3. Kepemimpinan partisipatif, dalam mengambil keputusan dan/atau bertindak meminta dan menggunakan masukan atau saran dari pegawai, namun keputusan dan kewenangan tetap dilakukan oleh pimpinan.
  4. Kepemimpinan berorientasi prestasi, menunjukkan pemimpin yang menuntut kinerja yang unggul, merancang tujuan yang menantang, berimprovisasi, dan menunjukkan kepercayaan bahwa pegawai dapat mencapai standar kinerja tinggi.
Teori-teori dalam kategori ini juga dikembangkan oleh Blake dan Mouton (1964) yang disebut dengan Managerial Grid. Dalam kepemimpinan ini, kisi-kisi perhatian kepada pekerja dan kepada produksi diukur dalam skala terendah = 0 dan tertinggi = 9; sehingga skala 9,9 yang disebut tim manajemen dipandang sebagai gaya kepemimpinan yang paling optimal. Likert (1961-1967) juga mengembangkan pengukuran perilaku kepemimpinan yang dikelompokkan menjadi empat gaya yakni exploitative authoritative, benevolent authoritative, consultative, dan participative group. Selain itu masih banyak lagi teori-teori yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan orientasi perilaku pemimpin dalam memandang pelaksanaan tugas/produksi/kinerja, dan para pegawai sebagai pelaksana tugas tersebut.

Pendekatan Kontingensi (the Contingency Approach)
Sebagaimana tidak ada obat mujarab (panasea) untuk segala penyakit; demikian pula tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok untuk segala situasi. Gaya kepemimpinan yang paling optimal sangat beragam tergantung pada

(1) sifat, kemampuan, dan keterampilan pemimpin, (2) perilaku bawahan, dan (3) kondisi dan situasi lingkungan (Dunford, 1995); atau seperti dikemukakan oleh Sweeney dan McFarlin (2002) bahwa “Pada lingkungan apapun, memperhitungkan konteks mencakup bagaimana karakteristik situasi, pemimpin, dan pengikutnya, semuanya berkombinasi mempertajam strategi perilaku pemimpin”. Dengan demikian gaya kepemimpinan yang efektif atau optimal merupakan hasil penerapan strategi mempengaruhi pegawai dengan mempertimbangkan dan mengkombinasikan karakteristik pemimpin, pegawai (pengikut), dan konteks situasi.

Hersey dan Blanchard (Yukl, 1989) mengembangkan teori kepemimpinan yang pada awalnya disebut “life cycle theory of leadership” dan kemudian dinamakan “situational leadership theory”. Argumen dasar dari teori ini adalah kepemimpinan yang efektif memerlukan kombinasi yang tepat antara perilaku berorientasi tugas dan perilaku berorientasi hubungan, serta mempertimbangkan tingkat kematangan bawahan. Berdasarkan kombinasi tersebut dapat diterapkan beberapa gaya kepemimpinan telling, selling, participating dan delegating sebagaimana gambaran berikut ini.
  1. Gaya Telling (bercerita) berlaku dalam situasi orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan rendah, dan pegawai sangat tidak dewasa, sehingga pemimpin harus memberikan pengarahan dan petunjuk untuk mengerjakan berbagai tugas.
  2. Gaya Selling (menjual) berlaku pada orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan juga tinggi, sementara tingkat kedewasaan pegawai cukup. Dalam situasi tersebut, pemimpin memberikan pengarahan secara seimbang dengan memberikan dukungan, meminta dan menghargai masukan dari pegawai.
  3. Gaya Participating (Partisipatif), dengan situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan tinggi, serta tingkat kedewasaan pegawai tinggi. Untuk itu pimpinan lebih kolaboratif, ada kedekatan emosional sehingga mengedepankan konsultasi, pembimbingan, dan dukungan; serta sangat sedikit pengarahan tugas.
  4. Gaya Delegating (Delegasi), cocok untuk situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan juga rendah, serta pegawai sangat dewasa.
Dalam situasi ini pemimpin memberikan tanggungjawab penuh kepada pegawai untuk menyelesaikan tugas. Pemimpin cukup mengetahui laporan, dan memberikan dukungan, tanpa memberikan pengarahan.

Pakar lain yang juga mengembangkan teori kepemimpinan kontingensi adalah Fiedler (1967) dan Vroom – Yetton (1973). Fiedler (Dunford, 1995; Sweeney dan McFarlin, 2002) mengukur gaya kepemimpinan berbasis tanggapan pemimpin terhadap karakter pekerjanya, yang dikenal dengan pengukuran skala Least Prefered Co-worker (LPC). LPC digunakan untuk mengetahui keyakinan pemimpin bahwa apa yang diharapkan, akan benar-benar dapat terjadi, karena memiliki pengendalian situasi (situational control). Pengendalian situasi ditentukan oleh tiga faktor yakni: (1) hubungan pemimpin-bawahan, (2) struktur tugas, dan (3) kedudukan kekuasaan. Sehingga gaya kepemimpinan yang efektif bervariasi sejalan dengan derajat pengendalian terhadap situasi. Adapun model Vroom–Yetton berusaha menggambarkan pendekatan kepemimpinan yang memadai untuk mengambil keputusan dalam beragam situasi, sehingga muncul kepemimpinan autocratic, consultative, dan group decision making.

Tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, menurut hemat penulis, termasuk melahirkan teori kepemimpinan dalam kategori kontingensi. Dengan ajaran triloka “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, menunjukkan seorang pemimpin harus mampu bertindak sesuai dengan situasi yakni apabila di depan, ia memberikan keteladanan, apabila di tengah-tengah para bawahan, harus membangun kemauan, atau semangat pegawai; dan apabila di belakang, para pemimpin harus memberikan motivasi tiada henti kepada para pegawainya.

Pada perkembangan selanjutnya munculah teori kepemimpinan transaksional (transactional leadership) dan transformasional (transformational leadership). Burns (Dunford, 1995) mengemukakan bahwa “kepemimpinan transaksional dicirikan dengan perancangan tujuan-tujuan tugas, penyediaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan penghargaan terhadap kinerja”. Dalam hal ini Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 2000) menambahkan, bahwa dalam membantu bawahan mengindentifikasi apa yang harus dikerjakan, pemimpin selalu mempertimbangkan konsep diri dan kebutuhan para bawahan terhadap penghargaan. Mekanisme kerja kepemimpinan transaksional ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Kepemimpinan transformasional merupakan perluasan dari kepemimpinan transaksional, yakni lebih dari sekedar pertukaran dan kesepakatan. Hoy dan Miskel (2008) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional itu proaktif, meningkatkan kesadaran bawahan tentang kepentingan kolektif yang inspirasional, dan membantu bawahan mencapai hasil kinerja yang tinggi luar biasa. Selanjutnya Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2000) memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan berbagai tujuan, arah dan misi dengan alasan praktis. Sementara itu kepemimpinan transformasional, di pihak lain, membuat perubahan besar pada: misi unit kerja atau organisasi atau unit kerja, cara-cara menjalankan kegiatan, dan manajemen sumberdaya manusia untuk mencapai misi yang telah ditetapkan.

Kouzes dan Posner (Dunford, 1995) mengemukakan karakteristik proses kepemimpinan transformasional sebagai berikut.
  1. Menantang praktek-praktek atau cara kerja yang sedang berjalan.
  2. Menginspirasi suatu visi bersama.
  3. Memberdayakan pegawai untuk bertindak.
  4. Bertindak sebagai “model berjalan”.
  5. Memperkuat tekad.
Daftar Pustaka
  1. Dunford, R. (1995). Organizational Behavior. London: Addison-Wesley.
  2. Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (2000). Organizations: Behavior, Structure, Processes. Boston: McGraw-Hill.
  3. Hoy, W. K., & Miskel, C. G. (2008). Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw-Hill.
  4. Yukl, G. (1989). Leadership in Organizations. New Jersey: Prentice Hall.
  5. Sweeney, P. D., & McFarlin, D. B. (2002). Organizational Behavior. New York: Allyn & Bacon.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendekatan Gaya Kepemimpinan (The Style Approach)"

Posting Komentar