Etika Bisnis
Pendahuluan
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang
semakin ketat, yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan
berkembang melewati apa yang pernah diprediksikan dan di'visi'kan sebelumnya.
Pelakunya terbuai dengan visi dan, misinya, terjebak di antara harapan dan
kenyataan. Bangkitnya negara berkembang dengan industri labour intensive seperti Korea Selatan dan Taiwan pada tahun
1980-an dan setelah runtuhnya rezim komunis 1990, mulailah dikenal Bisnis
Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan akan terus berlangsung
sampai tahun 2020 dan bahkan lebih.
Ketika mendengar kata ‘bisnis’ apa yang tersirat dalam pikiran Anda?
Apakah yang tersirat tersebut adalah perusahaan besar? Atau sebuah organisasi besar? Atau perusahaan/organisasi
biasa-biasa saja? Atau sebuah bisnis industry perumahan (Home Industry)?
Bisnis bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu
negara atau organisasi atau perusahaan baik dari sisi budaya, politik, hukum,
ekonomi, perilaku maupun sudut pandang. Bisnis sudah tak mengenal ruang dan
waktu, dari bisnis yang hanya mempertukarkan barang dengan barang (barter)
sampai dengan bisnis dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi. Transaksi bisnis kini dapat diwujudkan tanpa
harus adanya pertemuan fisik pembeli dan penjual. Mereka bisa tinggal dimana
saja, dan kapan saja dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi dan
Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu luas menjadi semakin
kecil, kini dunia seakan telah menjadi sebuah kampung besar yang dengan mudah
dijangkau manusia.
Bisnis merupakan suatu keinginan yang murni dalam
membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis
batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar
dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu
mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah
yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan
kompetisi lambang ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang lebih bebas di masa
mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan
eksportir kita yang ditantang untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di
masa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan
oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan
berbeda oleh sudut pandang pemerintah atau bahkan si pelaku bisnis itu sendiri.
Jika kita ingin mencapai target di tahun 2020, sudah
saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan
beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara
golongan menengah ke bawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung
jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat,
menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu
benar, dll.
Kebutuhan dan keinginan manusia dengan bantuan ilmu dan teknologi kini
semakin mudah untuk dipenuhi. Peran dunia bisnis semakin terasa bagi kehidupan
dan pemenuhan kebutuhan manusia itu. Karena ada banyak peluang yang
menguntungkan, saat ini orang yang terlibat dalam kegiatan dan profesi
bisnispun semakin banyak pula. Kecenderungan manusia untuk menggantungkan hidup pada sektor bisnis
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua orang yang hidup di dunia tidak
dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh bisnis. Perilaku dunia bisnis
dapat membuat manusia lebih bahagia dan juga sebaliknya dapat menjadikan
manusia sengsara dan jauh dari kesejahteraannya. Semuanya terpulang kepada
itikad, perilaku para pebisnis dan pemangku kepentingannya. Tanpa etika, dunia
bisnis menjadi kejam dan beringas. Bisnis bagaikan suatu pertempuran sengit
tanpa kasih sayang dan rasa kemanusiaan.
Yang satu berusaha dengan segala cara untuk mematikan yang lainnya. Pada hal
dalam pertempuran dan peperangan juga ada etika. Di sana ada kode etik
pertempuran dan peperangan.
Aktivitas bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu
yang bermakna bagi kehidupan manusia. Persaingan dalam bisnis adalah wajar dan
dibenarkan, tetapi tidak harus identik dengan pertempuran dan peperangan.
Persaingan yang baik dalam bisnis adalah persaingan damai. Damai dalam sebuah
dinamika persaingan dan bersaing dalam suasana perdamaian. Dalam bisnis
beretika persaingan hanyalah sarana untuk memperbaiki citra produk dan
perusahaan di mata pelanggannya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi
instrumen untuk memperbaiki kinerja
organisasional. Justru itu makna persaingan dalam ranah bisnis harus
diluruskan, demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri.
Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak
saja menempatkan dan mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak
melarang keuntungan yang besar bagi suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar
keuntungan yang diperoleh, maka semakin besar pula tanggung jawab etika dan
sosialnya kepada masyarakat. Dalam ajaran etika, selain untuk membahagiakan
dirinya, pelaku bisnis juga mengemban amanah dan kewajiban untuk membahagiakan
orang lain dan masyarakat sekitarnya. Memelihara alam dengan segala sumber
dayanya adalah juga tanggung jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada
di barisan depannya.
Untuk melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang
mengandung prinsip-prinsip, norma-norma dan standar, sehingga didapatkan
kebenaran moral dalam sikap dan perilakunya. Kesemuanya itu telah dikemas oleh para ahli dan filosof dalam
bingkai etika. Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam kerangka bisnis disebut
dengan etika bisnis. Dengan panduan etika bisnis, pelaku usaha dan partisipan
organisasi bisnis harus berlaku manusiawi
dengan menempatkan manusia di
atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya menyadari bahwa setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar
dan dilindungi, yakni hak asasi manusia. Sayangnya hak-hak manusia ini sering
diremehkan, diabaikan dan dilecehkan banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini.
Trend pelecehan hak-hak dasar manusia ini terindikasi pada banyaknya skandal
dan kasus eksploitasi manusia dalam penyelenggaraan bisnis di berbagai belahan
dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Kita seharusnya tidak perlu
pusing dan gelisah dengan isu dan skandal apapun yang mengancam dunia bisnis
pada awal abad ini. Berupaya berlaku etis dan berdoa adalah solusi terbaik
untuk mengatasi berbagai masalah. Selain banyak skandal dalam dunia bisnis,
kini juga masih banyak dan semoga lebih banyak lagi pelaku bisnis bermoral yang
aktif dan bertekad untuk dapat memberi sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan
kesejahteraan umat manusia. Bagaimanapun
manusia yang masih memiliki nurani dan meyakini adanya hari pembalasan, suatu
saat pasti kembali dan menyadari bahwa dia wajib berbuat baik untuk sesama
manusia, dimanapun dan apapun status jabatannya.
Pada dasarnya manusia itu adalah baik dan hanya faktor lingkungan dan
keterpaksaanlah kadangkala membuat dirinya berbuat kejahatan. Persoalannya
apakah manusia, termasuk pelaku
bisnis menyadari bahwa dirinya itu
diciptakan dari yang baik dan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian
pada dirinya dibebankan amanah-amanah kebajikan. Terkait dengan situasi itu,
Socrates menghimbau "Kenalilah Dirimu" agar kita tidak berbuat
kejahatan dengan sesama makhluk Allah.
Dengan keyakinan bahwa manusia sesungguhnya mencintai dan membutuhkan
kebaikan dan tidak berharap adanya kerusakan di muka bumi, maka nilai-nilai
etika harus disebarluaskan dengan
cara-cara yang arif dan bijaksana. Untuk
itu semua diperlukan metoda yang efektif dan perilaku keteladanan.
Keteladanan yang paling pokok dalam bisnis beretika adalah menjauhi
keserakahan, kerakusan, dan merasa. Bertanggungjawab secara moral terhadap
semua orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam bisnis yang
dijalankannya. Tokoh filsafat, pemuka agama, negarawan dan para nabi dan rasul
adalah sumber keteladanan.
Tokoh-tokoh negarawan dan guru dunia seperti Mahatma Gandhi dapat dijadikan rujukan bagi pelaku bisnis. Beliau dicatat sebagai pembela demokrasi yang tangguh dan kepribadiannya sangat menghargai semua orang terutama orang-orang kecil dan rakyat jelata. Walaupun kedudukannya sebagai pemimpin yang berkuasa, beliau rela di koreksi, dan tekun mengoreksi dirinya sendiri. Berpenampilan sederhana, dan gemar memakai produk dalam negeri. Perilaku pemimpin yang demikian, diikuti rakyat dan dengan demikian negerinya menjadi rnakmur dan masyarakatnya sejahtera. Banyak sekali pemimpin agama yang pantas ditiru, karena nilai-nilai kepemimpinan dan keteladannya antara lain adalah Imam Al Ghazali, Bunda Theresia dan Budha Gautama. Tokoh-tokoh dan pelaku bisnis yang juga dapat diikuti jejaknya antara lain: William Soerdjaja, Mochtar Riady, dan Boenyamin Setiawan dan sejumlah pelaku bisnis bermoral lainnya.
Mereka adalah pebisnis handal yang visioner dan telah
mengemban amanah kemanusiaan, sehingga dalam aktivitas bisnisnya tidak
mengeksploitasi manusia. Pebisnis besar yang dapat diteladani di negara kita
masih terbilang langka jumlahnya, namun pelaku-pelaku bisnis kecil yang
bermoral relatif menggembirakan. Kata orang di luar negeri pelaku bisnis kelas
kakap yang beretika masih relatif banyak dibandingkan dengan negara kita, baik
sebagai pemilik maupun manajer atau chief executive organizer-nya. Kita
mengenal nama Chris Miller CEO Anglian Water (Inggris), Konosuke Matsushita, Soichiro
Honda (Jepang), Anita Rhodick, Warren Buffet, Azim Premji dan lain-lainnya.
Dibandingkan dengan jumlah usaha swasta dan pelaku bisnis dunia,
jumlah perusahaan dan pelaku bisnis yang bermoral masih jauh dari yang
diharapkan. Ini adalah tantangan yang menghendaki perhatian kita semua. Mari
kita mulai dari perusahaan kita untuk mewujudkan etika dan kemudian mengajak
yang lainnya.
Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan pelaku usaha
beretika adalah bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis itu dan
menjadikannya sebagai acuan dalam setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai
positif yang terkandung dalam etika sepantasnya menjadi panutan dari pemimpin
organisasi bisnis dalam berbagai skala dan dimanapun mereka berada. Terkesan banyak
pelaku usaha yang masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha
bisnisnya. Padahal dalam banyak hasil penelitian etika, jarang sekali ditemukan
pebisnis yang mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya
praktik etika yang baik dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung
keberhasilan usaha, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting, krusial dan
strategis. Hal ini bermakna bahwa penyelenggaraan etika bisnis tidak bisa
terlepas dari kemampuan menerima dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam
setiap kegiatan bisnisnya. Nilai adalah sesuatu yang benar, yang baik dan yang
indah. Keberadaan nilai dalam banyak hal dapat mempersatukan orang-orang yang
terlibat dalam suatu bisnis dan menyelesaikan konflik nilai yang terjadi,
sehingga dengan demikian penganutan nilai oleh pelaku bisnis itu akan
memudahkan pencapaian tujuan organisasinya.
Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi tanggung jawab.
Selain tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang
saham, tanggung jawab terhadap karyawan, pelanggan dan mitra kerja, organisasi
bisnis juga mengemban tanggung jawab sosial yang Iebih besar. Organisasi bisnis
merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih besar dan secara kolektif berarti
masyarakat. Karenanya usaha bisnis selain memiliki tanggung jawab dalam kinerja
ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Ahli ekonomi Milton
Friedman hanya mengagungkan kinerja ekonomi sebagai tanggung jawab perusahaan.
Sebuah perusahaan yang tidak menghasilkan laba sekurang-kurangnya sama dengan
biaya modalnya adalah perusahaan yang tidak berkinerja ekonomi.
Perusahaan yang tidak mampu meraih kinerja ekonomi dengan baik tidak
dapat dikatakan secara sosial memenuhi tanggung jawabnya. Perusahaan ini
dianggap membuang-buang sumber daya masyarakat. Tanpa kinerja ekonomi, sebuah
perusahaan tak akan dapat menunaikan tanggungjawab apapun. Dia tak akan dapat
menjadi majikan yang baik, tetangga yang baik dan warga negara yang baik. Pakar
manajemen Peter F. Drucker juga menanggapi pandangan Friedman tersebut dan
menyatakan bahwa kinerja ekonomi bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah
perusahaan. Seperti halnya kinerja pendidikan juga bukan satu-satunya
tanggungjawab sebuah sekolah atau universitas, demikian juga kinerja perawatan
kesehatan bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah rumah sakit. Sebuah
organisasi mempunyai tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap masyarakat
lingkungan dan masyarakat luas. Tanggung jawab organisasi yang sesungguhnya
adalah mendapatkan suatu pendekatan ke masalah-masalah sosiat yang sesuai
dengan kompetensinya dan dapat menjadikan masalah-masalah sosial sebagai suatu
kesempatan bagi organisasi.
Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika bisnis suatu
organisasi berorientasi keuntungan (profit
oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial dalam konteks etika harus
mengacu kepada nilai-nilai moral. Nilai-nilai etika bisnis itu dapat diperoleh
dari berbagai sumber, antara lain dari ajaran filsafat, pengalaman budaya,
hukum dan aturan yang berlaku dan ajaran-ajaran agama. Tanpa mengadopsi nilai
etika bisnis, kemungkinan besar dunia bisnis akan dilanda musibah dahsyat.
Dalam makna bahwa kehadirannya dapat saling menghancurkan semuanya dan jauh
dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara universal. Dalam dunia bisnis
Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika, penyimpangan nilai-nilai
etika sudah semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan berdampak
negatif terhadap situasi persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas
perekonomian bangsa. Beberapa perilaku menyimpang yang melanda dunia bisnis
Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan semua cara untuk mendapatkan
pendapatan dan keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan sudah menjadi suatu
tradisi; kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu pendekatan
dalam praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik usaha dan biasa-biasa saja;
semakin banyaknya pebisnis bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan
hal-hal privasi menjadi lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan
intelektual.
Karenanya kepada semua pihak yang berkompetensi diharapkan dapat
mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing dalam
memasyarakatkan etika bisnis. Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu
lama etika bisnis menjadi suatu gerakan dan rujukan yang menyentuh dan
dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat.
Pengertian Etika
Secara
etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yang dalam bentuk tunggal yaitu
ethos dan dalam bentuk jamaknya yaitu ta
etha. "Ethos" yang berarti sikap, cara berpikir, watak kesusilaan
atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin
"mos" yang dalam bentuk
jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Kata mores ini mempunyai
sinonim; mos, moris, manner mores
atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak
atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati
nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan Moral
memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit
perbedaan. Moral biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai/dikaji
(dengan kata lain perbuatan itu dilihat dari dalam diri orang itu sendiri),
artinya moral disini merupakan subjek, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu (merupakan
aktivitas atau hasil pengkajian).
Menurut Larkin
(2000) "Ethics is concerned with
moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti
bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban
moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika yang dimiliki individu ini secara lebih luas mencerminkan karakter
organisasi/perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-individu. Etika
menjelaskan standar dan norma perilaku baik dan buruk yang kemudian
diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt, 1995) dan
(Louwers, 1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu,
sehingga etika yang dianut oleh individu tersebut pada akhirnya akan tercermin
dalam standar dan norma perilaku yang kemudian diimplementasikan oleh
masing-masing karyawan dalam pekerjaan sehari-hari.
Etika
menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan
tingkah laku yang diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Penulis
lainnya Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk
memahami etika perlu dibedakan dengan
moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tertang bagaimana
seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam
ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup,
bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan
bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika
berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia istilah etika diartikan sebagai:
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Etika
merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah
laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia yang manakah yang baik.
Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
manusia dan masyarakat seperti: antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi,
ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusan (ought). Perbedaannya dengan teologi
moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi hanya
terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari tenaga manusianya sendiri. Kata
moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Etika
(Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat kebiasaan, adat
istiadat dan akhlak yang baik dan banyak ahli filsafat menyebutnya dengan
istilah moralitas. Dengan kata lain "ethos" yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
individu atau kelompok untuk menilai
apakah tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik
(Adams, 1995 dan Asgary, 2002).
Memasukkan
kata adat atau kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan Etika berarti
mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. Pada tataran
berikutnya pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu dan ruang, sehingga
dengan demikian akan memperkaya pemahamannya. Dalam makna filsafat, Etika
termasuk alam kategori filsafat moral. Istilah etika kadang digandengkan dengan
moral yang di namakan dengan etika moral. Etika moral terwujud dalam bentuk
kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran itu adalah suara hati.
Jadi secara
etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan
dengan kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn mengenai sikap,
perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada
ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika
umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai
wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi.
Belakangan ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat
moral karena dalam banyak hal filsafat moral mengkaji pula prinsip-prinsip
etika. Etika, kadang-kadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih
dipertanyakan apakah etika dapat dipandang sebagai ilmu. Johnson (1989)
menjelaskan etika sebagai berikut:
"Ethics is a science in the sense that its study
represents an intellectual enterprise, a rational inquiry into its subject
matter in the hope of gaining knowledge. As such ethics can be contrasted with
art or religion or technology, whose purposes are not the same. Although ethics
differ from the various empirical sciences both in its subject matter and its
special methodology, it shares with them a general methodology, rational
inquiry and an overall goal the attainment of truth. These relationships
between ethics and science have led philosophers to speaks of ethics as a
normative science, because it concerns itself with norm and standards, in
contrast to the descriptive sciences, which concerns themselves which
describing empirical facts ".
Dapat
disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya
adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan tujuan membuat
pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai pada rekomendasi yang
memadai yang tentunya dapat diterima oleh suatu golongan tertentu atau
individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al., 1999) "Ethics is concerned with moral obligation,
responsibility, and social justice" Hal ini berarti bahwa etika
berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial.
Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter perusahaan, yang merupakan
kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku
tanggungjawab masyarakat, kemudian di internalkan kepada masing-masing karyawan
dalam organisasi (Daft, 1992).
Menurut Magnis
Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan
dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana
seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam
ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang
bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai
manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan
perilaku manusia dalam hidupnya.
Antonius
Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika
berusaha, karena dengan adanya praktik etika berusaha dan kejujuran dalam
berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika terdapat
aturan dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama kelamaan
akan menjadi kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi yang melanggar untuk memberi pelajaran kepada yang
bersang-kutan.
Moral dan
etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan ke mana
harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan bahwa
moralitas langsung menunjukkan inilah caranya untuk melangkah sedangkan etika
justru mempersoalkan apakah harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa harus
dengan cara itu. Dengan kata lain moralitas adalah suatu pranata, sedangkan
etika adalah sikap kritis setiap pribadi atau kelompok masyarakat dalam
merealisasikan moralitas. Pada akhirnya etika memang menghimbau orang untuk
bertindak sesuai dengan moralitas. Etika berusaha membantu manusia untuk
bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaku usaha
dapat memperoleh ilmu etika melalui teori etika, selain pengalaman dan
informasi moral yang diterima dari berbagai sumber. Dalam teori etika terungkap
etika deontologi, etika teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
1) Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berkewajiban" atau sesuai dengan
prosedur dan logos yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini beberapa
prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini
menekankankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu
baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari
tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada
dirinya sendiri. Atau dengan kata lain tindakan itu bernilai moral karena
tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan
terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan kewajiban
sebagai tolak ukur bagi penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia, dengan
mengabaikan dorongan lain seperti rasa cinta atau belas kasihan. Terdapat tiga
kemungkinan seseorang memenuhi kewajibannya yaitu: karena nama baik, karena
dorongan tulus dari hati nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist
menetapkan aturan, prinsip dan hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat
istiadat yang berlaku. Yang menjadi tantangan dalam penerapan deontological di
sini adalah menentukan yang mana tugas, kewajiban, hak, prinsip yang
didahulukan. Sehingga banyak filosof yang menyarankan bahwa tidak semua prinsip
deontological harus diterapkan secara absolut. Teori ini memang berpijak pada
norma-norma moral konkret yang harus ditaati, namun belum tentu mengikat untuk
kondisi yang bersifat khusus. Contohnya, seseorang boleh saja merampok kalau
hasil rampokannya dipakai untuk memberi makan orang yang terkena musibah.
2) Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan,
sasaran atau hasii dan logos yang berarti ilmu atau teori. Etika ini mengukur
baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan
tindakan itu, atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau
kalau konsekuensi yang ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan
memutuskan apa yang benar, kita tidak hanya melihat konsekuensi keputusan
tersebut dari sudut pandang kepentingan kita sendiri. Tantangan yang sering
dihadapi dalam penggunaan teori ini adalah bila kita bisa kesulitan dalam
mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua
kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil.
3) Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk mengevaluasi apakah
tindakan, perbuatan dan kebijakan bisnisnya telah tergolong baik atau buruk
dengan menggunakan kaidah hak seseorang. Hak seseorang sebagai manusia tidak
dapat dikorbankan oleh orang lain apa statusnya.
Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab
berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Etika hak kadangkala dinamakan
"hak manusia" sebab manusia
berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya. Etika hak mempunyai sifat
dasar dan asasi (human rights),
sehingga etika hak tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak dapat dicabut atau
direbut karena sudah ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari
persetujuan orang; (3) Merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia.
4) Etika Keutamaan
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak
mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal
seperti kedua teori sebelumnya. Etika ini lebih mengutamakan pembangunan
karakter moral pada diri setiap orang. Nilai moral bukan muncul dalam bentuk
adanya aturan berupa larangan atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral
yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di dalam
etika karakter lebih banyak dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini terutama
berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas
profesional yang telah mengembangkan norma dan standar yang cukup baik.
Keuntungan teori ini bahwa para pengambil keputusan dapat dengan mudah
mencocokkan dengan standar etika komunitas tertentu untuk menentukan sesuatu
itu benar atau salah tanpa ia harus menentukan kriteria terlebih dahulu (dengan
asumsi telah ada kode perilaku).
Indikator Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan
hal-hal yang berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah
dan benar (Forsyth, 1980; Kohlberg, 1981; Velasques, 2005):
- Karena untuk menghindari hukuman;
- Melakukan hal yang baik jika mendapat imbalan;
- Sesuai dengan pendapatteman;
- Mentaati hukum dan Peraturan;
- Memenuhi kontrak sosial; dan
- Kesadaran individu, memenuhi tuntutan moral dan menerapkan dengan konsisten
Kepustakaan :
- Keraf, A. Sonny. 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanius
- Borrong, Robert P.. 1999. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Unti Ludigdo, 2007, Paradoks Etika Akuntan, Cet Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Ernawan, Eni. 2007. Business Ethics. Bandung: Penerbit Alfabeta.
- Sukrisno Agoes & I Cenik Ardana, Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya, Salemba Empat, 2009.
- Daft .Richard L 2010, Era Baru Manajemen Stiven Robin, Salemba empat.Jakarta,
- Brooks, Leonard J. & Paul Dunn. 2011.Etika Bisnis dan Profesi: Untuk Direktur, Eksekutif, dan Akuntan. Edisi Kelima. Buku Satu. Terjemahan oleh Kanti Pertiwi Jakarta: Salemba Empat.
- Ronald Duska, Brenda Shay Duska, Julie Anne Ragatz, 2011, Accounting Ethic, Willey Blackwel.
- Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral Ajaran Bumi. .Jakarta: Penebar Plus imprit dari Penebar Swadaya Untung, Budi. 2012. “Hukum dan Etika Bisnis”. Yogyakarta : Andi
0 Response to "Etika Bisnis"
Posting Komentar