Dalam Hening Riuhnya Sebuah Kelas Berisi Lima Puluh Jiwa
Di sebuah ruang kelas yang dipenuhi suara langkah kaki pagi, lembar-lembar mimpi diselipkan dalam ransel yang berat. Lima puluh jiwa muda dengan kisahnya masing-masing duduk berjejer dalam balutan seragam yang serupa, namun hati mereka menyimpan langit dan luka yang berbeda.
Ada keuntungan dalam kebersamaan
seperti ini.
Lima puluh suara bisa menjadi simfoni pengetahuan yang menggema di setiap
dinding. Dari keberagaman pikiran, tumbuhlah benih toleransi dan pemahaman. Di
sana, persahabatan tak sulit ditemukan; kau cukup menoleh ke kiri, ke kanan,
dan dunia akan memperkenalkanmu pada seseorang yang belum kau kenal hari ini.
Semakin ramai, semakin luas
kemungkinan: untuk diskusi yang berwarna, untuk pendapat yang lebih tajam,
untuk pelajaran kehidupan yang tidak tertulis di papan tulis. Dalam
keberlimpahan teman sekelas, seorang anak tak akan merasa benar-benar sendiri.
Namun di balik itu, tersembunyi
pula kerugian yang berbisik lirih.
Bagaimana mungkin seorang guru menangkap satu per satu cahaya di mata lima
puluh insan, jika waktu terus berlari dan kurikulum menuntut langkah cepat?
Dalam keramaian, suara-suara kecil sering kali terbenam, seperti bintang yang
tertutupi kabut malam. Ada anak yang ingin bertanya, tapi tak sempat. Ada
cerita yang ingin dibagi, tapi tak didengar. Ruang jadi sempit, perhatian jadi terbagi, dan kasih dalam pengajaran bisa
berubah menjadi rutinitas yang mekanis.
Kelas yang terlalu padat bisa jadi
seperti pasarramai, penuh harapan, namun juga penuh kebisingan yang
menenggelamkan kelembutan. Di antara kerumunan, ada jiwa-jiwa yang bisa
terlewatkan. Seperti daun kecil yang hanyut diam-diam di tengah derasnya arus
sungai.
Kebijakan satu kelas 50 siswa adalah
pilihan dan seperti semua pilihan, ia membawa dua sisi mata pisau.
Yang satu mengasah semangat kolaborasi dan keberagaman, sementara yang lain
mungkin mengiris kesempatan untuk perhatian yang lebih personal dan pembinaan
yang lebih dalam.
Akhirnya, bukan hanya jumlah yang
harus dihitung, tetapi bagaimana kehadiran masing-masing anak itu
dirayakan. Bukan hanya kursi yang dipenuhi, tetapi apakah hati mereka
benar-benar diberi ruang untuk tumbuh, mendengar, dan didengar.
Sebab sebuah kelas bukan sekadar
ruangan dan angka, melainkan taman tempat benih-benih masa depan tumbuh dengan
cinta, pengertian, dan ruang yang cukup untuk berkembang menjadi dirinya yang
seutuhnya.
0 Response to "Dalam Hening Riuhnya Sebuah Kelas Berisi Lima Puluh Jiwa"
Posting Komentar